-->

Ads

Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya

Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya

Hubungan kepemimpinan mempengaruhi budaya dan kinerja organisasional sudah cukup banyak ditelaah oleh para ahli organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif  kepemimpinan transformasional dianggap paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional  dijelaskan banyak telaah tentang bagaimana para pemimpin mengubah budaya dan struktur organisasi agar lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran organisasional. Hal tersebut meliputi proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dapat diperlihatkan oleh siapa saja dalam organisasi pada jenis posisi apa saja.

Pada sisi lain Burns membedakan dengan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang merupakan bentuk kepemimpinan  terhadap bawahan dengan menunjuk pada kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai pada konsep ini bersandar pada nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi tiga dimensi yang memformulasikan teori  kepemimpinan transformasional meliputi: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) dan perhatian yang diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin meningkatkan kesadaran terhadap masalah-masalah dan mempengaruhi para pengikut untuk memandang masalah-masalah dari sebuah perspektif yang baru. Perhatian yang diindividualisasi meliputi kegiatan: memberi dukungan, membesarkan hati, dan memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. Satu hal baru yang dikemukakan Bass dan Avioli (1990) dengan menambahkan perilaku transformasional lainnya yang disebut inspirasi (atau “motivasi inspirasional”), yang didefinisikan sebagai sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yang menarik, menggunakan simbol-simbol untuk untuk memfokuskan usaha-usaha bawahan, dan memodelkan perilaku-perilaku yang sesuai. Perilaku-perilaku kepemimpinan transformasional saling berhubungan untuk mempengaruhi perubahan-perubahan pada para pengikut, dan efek-efek yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) juga memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah pertukaran imbalan-imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Beberapa komponen penting di dalamnya meliputi perilaku transaksional (disebut perilaku “contingent reward”) mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yang diminta untuk memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan insentif dan contingent rewards untuk mempengaruhi motivasi. Komponen selanjutnya adalah “active management by exception” termasuk pemantauan dari para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki untuk memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga ditambahkan oleh Bass, et. al (1990) adalah “passive management by exception” yang meliputi penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya sebagai tanggapan terhadap penyimpangan yang nyata dari standar-standar kinerja yang dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional sebagai proses yang berbeda, namun tidak saling eksklusif, dan menurut Bass pemimpin yang sama dapat menggunakan kedua jenis kepemimpinan tersebut pada waktu-waktu dan situasi yang berbeda.

Bagaimana hubungan kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua model kepemimpinan ini menjadi fenomena yang sering dibahas dalam organisasi. Namun demikian banyak ahli mengatakan karisma hanya bagian dari kepemimpinan transformasional, sehingga karisma tidak cukup dalam proses transformasional (Yukl,  1989). Hal negatif yang membedakan kepemimpinan karismatik dengan kepemimpinan transformasional adalah bahwa kepemimpinan karismatik mencoba untuk membuat para pengikutnya tetap lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan pada upaya menanamkan kesetiaan pribadi dari pada komitmen terhadap cita-cita.

Dalam hubungan dengan budaya, Schein (1992)  lebih memperjelas hubungan pemimpin dan budaya. Menurutnya para pemimpin mempunyai potensi paling besar dalam menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya melalui lima mekanisme, meliputi:
  • 1) perhatian (attention), 
  • 2) reaksi terhadap krisis, 
  • 3) pemodelan peran, 
  • 4) alokasi imbalan-imbalan, 
  • 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice dan Beyer (1991, 1993) sejalan dengan pandangan tersebut dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan inovasi kultural yang padanya seorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yang drastis pada budaya yang ada atau memulai sebuah organisasi baru dengan budaya yang berbeda.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel