ELIMINASI URINE & POSTPARTUM BLUES PADA IBU NIFAS
9:07 AM
Edit
Masa nifas (Puerperium) adalah dimulai setelah kelahiran placenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil (Prawiroharjo, 2005). Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6-8 minggu. Untuk itu sangat diperlukan latihan-latihan ringan guna memfasilitasi penyembuhan otot-otot, terutama otot rahim yang telah meregang selama kehamilan. Dengan latihan fisik sederhana secara bertahap dan terus-menerus akan mengantarkan ibu dalam proses pemulihan yang membantu memperoleh kembali kebugaran ibu secara sempurna
Eliminasi merupakan kebutuhan dasar manusia tak terkecuali pada ibu nifas, pengosongan kandung kemih pada ibu nifas akan memperkecil risiko timbulnya masalah seperti perdarahan akibat perubahan tempat uterus atau infeksi (Johnson, 2004), namun pada kenyataannya umumnya ibu nifas menahan air kencing karena takut akan merasakn sakit pada luka jalan lahir. Sedangkan menurut Manuaba (2010) untuk membantu pengeluaran urine dapat dilakukan dengan mobilisasi dini, karena kurangnya mobilisasi dini atau akibat terbaring yang terlalu lama mengakibatkan sulit buang air kecil, sembelit (pola eliminasi), dan otot sangat lemah sehingga proses penyembuhan terganggu. Namun pada kenyataannya sekarang di masyarakat masih banyak ibu post partum yang belum melakukan mobilisasi dini, hal ini dikarenakan ibu masih mengalami nyeri pada luka jahitan sehingga dapat mengakibatkan ibu takut dalam melakukan mobilisasi dini.
Postpartum blues sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah menulis referensi di literatur kedokteran mengenai keadaan disforia ringan pasca bersalin yang disebut sebagai milk fewer karena gejala tersebut muncul bersamaan dengan laktasi . Hal tersebut menyebabkan ibu mengalami stress diiringi perasaan sedih dan takut sehingga mempengaruhi emosional dan sensitivitas ibu pasca melahirkan
Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh wanita dalam menghadapi peran barunya sebagai ibu pada minggu-minggu pertama setelah melahirkan, baik dari segi fisik maupun psikologis. Sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan psikologis dengan berbagai gejala yang oleh para peneliti dan klinisi disebut postpartum blues (Kesedihan Pasca Persalinan). Postpartum Blues ini dikatagorikan sebagai sindroma gangguan mental ringan, oleh sebab itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak ditatalaksanai sebagaimana seharusnya, sehingga gangguan-gangguan psikologis tersebut dapat mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Daerah Surabaya pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 60% ibu nifas mengalami gangguan berkemih (sulit buang air kecil) pasca persalinan. Sedangkan berdasarkan hasil pengambilan data awal di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya jumlah ibu post partum dari bulan Januari hingga April 2011 sebanyak 374 ibu nifas fisiologis, rata-rata per 2 minggu sebanyak 47 ibu nifas fisiologis didapatkan 57,45% ibu nifas mengalami gangguan berkemih. Sedangkan angka kejadian postpartum blues di berbagai belahan dunia secara tegas menujukkan 2/3 atau sekitar 50-75% wanita mengalami postpartum blues (Hidayat, 2007). Di Asia cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85% (Iskandar, 2007), sedangkan di Indonesia angka kejadian postpartum blues antara 50-70% dari wanita pasca persalinan (Hidayat, 2007). Postpartum blues biasanya bersifat sementara dan bisa mempengaruhi 75% sampai 85% wanita setelah melahirkan
Pengeluaran air seni akan meningkat 24-48 jam pertama sampai sekitar hari ke-5 setelah melahirkan. Hal ini terjadi karena volume darah meningkat pada saat hamil tidak diperlukan lagi setelah persalinan. Dalam 6 jam pertama post partum, pasien sudah harus dapat buang air kecil, menahan buang air kecil akan menyebabkan terjadinya bendungan air seni dan gangguan kontraksi rahim sehingga pengeluaran cairan vagina tidak lancar, semakin lama urine tertahan dalam kandung kemih maka dapat mengakibatkan kesulitan pada organ perkemihan, misalnya infeksi. Dengan melakukan mobilisasi dini secepatnya, kesulitan miksi dapat diatasi (Mansjoer, 2002). Mobilisasi dini pada ibu post partum yang dilakukan segera setelah persalinan dan yang dilakukan secara bertahap akan membuat ibu merasa lebih sehat dan kuat karena sirkulasi darah dalam tubuhnya menjadi lancar, disamping itu mobilisasi dini juga dapat mengurangi kejadian komplikasi kandung kemih, trombosis vena purperalis, dan emboli pulmonal serta memperlancar sirkulasi darah yang akan mempercepat pulihnya hemoroid dan mengurangi penderitaan konstipasi karena takut buang air besar, serta banyak mengurangi keluhan pada sistem perkemihan. (Manuaba, 1998). Menurut Zakaria (2004) kurangnya mobilisasi dini, maka proses penyembuhan luka dan pengeluaran cairan atau bekuan darah kotor dari rahim ibu ikut berpengaruh. Bahkan ibu berpeluang mendapatkan efek samping yang tidak diharapkan seperti bekas parut luka operasi diperut yang tidak estetis. Infeksi pasca persalinan dan fistula. Selain itu, akibat terbaring yang terlalu lama mengakibatkan sulit buang air besar, sembelit (pola eliminasi), dan otot sangat lemah sehingga proses penyembuhan terganggu
Schuster dan Asburn mengutip teori Brazelton, bahwa ibu-ibu mengalami suatu konflik antara image ibu ideal dengan kenyataan kemampuan diri. Ibu merasa gagal mewujudkan impian sebagai seorang ibu. Setelah perasaan senang karena melahirkan, ibu mendapatkan dirinya merasa bosan, capek dan tidak bersemangat. Seseorang ibu mengharapkan mempunyai cinta ketika mengawasi bayinya, namun ibu merasa heran menemukan kenyataan bahwa pengalaman melahirkan tidak secara langsung memberi pengetahuan dan rasa sayang sebagai seorang ibu. Ternyata di luar kandungan (setelah melahirkan) lebih sulit daripada waktu masih dalam kandungan (Regina. Dkk, 2001). Di samping itu, ibu mungkin mengalami sindrom kehilangan waktu tidur. Setelah bayi lahir, perasaan senang dan keinginan untuk meresapi pengalaman serta perhatian berlebih terhadap bayi mencegah ibu untuk dapat tidur dengan baik. Secara psikologis persalinan menimbulkan banyak perubahan dalam peran sebagai wanita dan ibu. Dampak lain akibat postpartum blues antara lain gangguan dalam hubungan interpersonal suami-istri, ibu-anak dan terganggunya hubungan antara anggota keluarga
Eliminasi merupakan kebutuhan dasar manusia tak terkecuali pada ibu nifas, pengosongan kandung kemih pada ibu nifas akan memperkecil risiko timbulnya masalah seperti perdarahan akibat perubahan tempat uterus atau infeksi (Johnson, 2004), namun pada kenyataannya umumnya ibu nifas menahan air kencing karena takut akan merasakn sakit pada luka jalan lahir. Sedangkan menurut Manuaba (2010) untuk membantu pengeluaran urine dapat dilakukan dengan mobilisasi dini, karena kurangnya mobilisasi dini atau akibat terbaring yang terlalu lama mengakibatkan sulit buang air kecil, sembelit (pola eliminasi), dan otot sangat lemah sehingga proses penyembuhan terganggu. Namun pada kenyataannya sekarang di masyarakat masih banyak ibu post partum yang belum melakukan mobilisasi dini, hal ini dikarenakan ibu masih mengalami nyeri pada luka jahitan sehingga dapat mengakibatkan ibu takut dalam melakukan mobilisasi dini.
Postpartum blues sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah menulis referensi di literatur kedokteran mengenai keadaan disforia ringan pasca bersalin yang disebut sebagai milk fewer karena gejala tersebut muncul bersamaan dengan laktasi . Hal tersebut menyebabkan ibu mengalami stress diiringi perasaan sedih dan takut sehingga mempengaruhi emosional dan sensitivitas ibu pasca melahirkan
Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh wanita dalam menghadapi peran barunya sebagai ibu pada minggu-minggu pertama setelah melahirkan, baik dari segi fisik maupun psikologis. Sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan psikologis dengan berbagai gejala yang oleh para peneliti dan klinisi disebut postpartum blues (Kesedihan Pasca Persalinan). Postpartum Blues ini dikatagorikan sebagai sindroma gangguan mental ringan, oleh sebab itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak ditatalaksanai sebagaimana seharusnya, sehingga gangguan-gangguan psikologis tersebut dapat mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Daerah Surabaya pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 60% ibu nifas mengalami gangguan berkemih (sulit buang air kecil) pasca persalinan. Sedangkan berdasarkan hasil pengambilan data awal di Rumah Sakit Muhammadiyah Surabaya jumlah ibu post partum dari bulan Januari hingga April 2011 sebanyak 374 ibu nifas fisiologis, rata-rata per 2 minggu sebanyak 47 ibu nifas fisiologis didapatkan 57,45% ibu nifas mengalami gangguan berkemih. Sedangkan angka kejadian postpartum blues di berbagai belahan dunia secara tegas menujukkan 2/3 atau sekitar 50-75% wanita mengalami postpartum blues (Hidayat, 2007). Di Asia cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85% (Iskandar, 2007), sedangkan di Indonesia angka kejadian postpartum blues antara 50-70% dari wanita pasca persalinan (Hidayat, 2007). Postpartum blues biasanya bersifat sementara dan bisa mempengaruhi 75% sampai 85% wanita setelah melahirkan
Pengeluaran air seni akan meningkat 24-48 jam pertama sampai sekitar hari ke-5 setelah melahirkan. Hal ini terjadi karena volume darah meningkat pada saat hamil tidak diperlukan lagi setelah persalinan. Dalam 6 jam pertama post partum, pasien sudah harus dapat buang air kecil, menahan buang air kecil akan menyebabkan terjadinya bendungan air seni dan gangguan kontraksi rahim sehingga pengeluaran cairan vagina tidak lancar, semakin lama urine tertahan dalam kandung kemih maka dapat mengakibatkan kesulitan pada organ perkemihan, misalnya infeksi. Dengan melakukan mobilisasi dini secepatnya, kesulitan miksi dapat diatasi (Mansjoer, 2002). Mobilisasi dini pada ibu post partum yang dilakukan segera setelah persalinan dan yang dilakukan secara bertahap akan membuat ibu merasa lebih sehat dan kuat karena sirkulasi darah dalam tubuhnya menjadi lancar, disamping itu mobilisasi dini juga dapat mengurangi kejadian komplikasi kandung kemih, trombosis vena purperalis, dan emboli pulmonal serta memperlancar sirkulasi darah yang akan mempercepat pulihnya hemoroid dan mengurangi penderitaan konstipasi karena takut buang air besar, serta banyak mengurangi keluhan pada sistem perkemihan. (Manuaba, 1998). Menurut Zakaria (2004) kurangnya mobilisasi dini, maka proses penyembuhan luka dan pengeluaran cairan atau bekuan darah kotor dari rahim ibu ikut berpengaruh. Bahkan ibu berpeluang mendapatkan efek samping yang tidak diharapkan seperti bekas parut luka operasi diperut yang tidak estetis. Infeksi pasca persalinan dan fistula. Selain itu, akibat terbaring yang terlalu lama mengakibatkan sulit buang air besar, sembelit (pola eliminasi), dan otot sangat lemah sehingga proses penyembuhan terganggu
Schuster dan Asburn mengutip teori Brazelton, bahwa ibu-ibu mengalami suatu konflik antara image ibu ideal dengan kenyataan kemampuan diri. Ibu merasa gagal mewujudkan impian sebagai seorang ibu. Setelah perasaan senang karena melahirkan, ibu mendapatkan dirinya merasa bosan, capek dan tidak bersemangat. Seseorang ibu mengharapkan mempunyai cinta ketika mengawasi bayinya, namun ibu merasa heran menemukan kenyataan bahwa pengalaman melahirkan tidak secara langsung memberi pengetahuan dan rasa sayang sebagai seorang ibu. Ternyata di luar kandungan (setelah melahirkan) lebih sulit daripada waktu masih dalam kandungan (Regina. Dkk, 2001). Di samping itu, ibu mungkin mengalami sindrom kehilangan waktu tidur. Setelah bayi lahir, perasaan senang dan keinginan untuk meresapi pengalaman serta perhatian berlebih terhadap bayi mencegah ibu untuk dapat tidur dengan baik. Secara psikologis persalinan menimbulkan banyak perubahan dalam peran sebagai wanita dan ibu. Dampak lain akibat postpartum blues antara lain gangguan dalam hubungan interpersonal suami-istri, ibu-anak dan terganggunya hubungan antara anggota keluarga