peningkatan produktivitas ternak Susu Sapi
5:12 PM
Edit
Permintaan bahan pangan asal ternak terutama produk susu sapi, dewasa ini semakin meningkat, hal ini terdorong oleh semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Namun di sisi lain, produksi susu dalam negeri masih belum dapat memenuhi kebutuhan domestik. Tahun 2007, konsumsi susu sebesar 1.846.026 ton hanya dapat terpenuhi 30% produksi susu dalam negeri yaitu 567.683 ton dengan populasi sapi sebanyak 374.067 ekor [Gambar 1], sehingga masih diperlukan suplai susu 1.278.343 ton untuk memenuhi permintaan masyarakat.
Salah satu upaya mengatasi kekurangan suplai dapat dilakukan dengan jalan peningkatan produktivitas melalui usaha pengembangan ternak sapi perah. Selama ini pengembangan usaha peternakan sapi perah masih tersentral di lingkungan dataran sedang sampai tinggi, sehingga menjadi pembatas peningkatan produktivitas ternak karena wilayah Negara Indonesia sebagian besar juga terdiri dari lingkungan dataran rendah. Potensi ternak di lingkungan dataran rendah apabila diketahui mendekati potensi ternak di lingkungan dataran sedang sampai tinggi maka dapat dijadikan solusi peningkatan produktivitas ternak sapi perah, dengan demikian diharapkan kebutuhan konsumsi susu dan program swasembada pangan dalam negeri dapat terpenuhi.
Potensi produktivitas ternak pada dasarnya dipengaruhi faktor genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan [ Karnaen dan Arifin, 2009; Hammack, 2009]. Faktor genetik yang berpengaruh adalah bangsa ternak, sedangkan faktor lingkungan antara lain: pakan, iklim, ketinggian tempat, bobot badan, penyakit, kebuntingan, bulan laktasi dan jarak beranak, serta paritas [Epaphras, et al., 2002].
Ketinggian tempat lokasi usaha peternakan dapat mempengaruhi penampilan produksi dan reproduksi sapi perah. Hasil penelitian Calderon, et al. [2005] dan Wijono, dkk. [1993] menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata penampilan produksi dan reproduksi ternak di dataran rendah [daerah panas] dengan di dataran tinggi [daerah dingin]. Perbedaan produktivitas ini berkaitan erat dengan faktor suhu dan kelembaban udara. Interaksi suhu dan kelembaban udara atau “Temperature Humidity Index” [THI] dapat mempengaruhi kenyamanan hidup ternak. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72, apabila interaksi ini melebihi batas ambang ideal hidup ternak, dapat menyebabkan terjadinya cekaman /stres panas [Dobson, et al., 2003].
Penelitian Berman [2005], Jordan [2003] serta Westra [2007] melaporkan pengaruh langsung stres panas terhadap produksi dan reproduksi disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance sebagai upaya ternak menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis dan konsumsi pakan, sehingga mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berdampak penurunan kemampuan berproduksi dan sekresi hormon reproduksi yang berhubungan dengan fertilitas ternak tersebut.
Bertolak pada hal diatas, maka diperlukan pengkajian tentang penampilan produksi susu dan reproduksi ternak sapi perah di ketinggian tempat yang berbeda. Hasil penelitian ini dapat dijadikan upaya mengetahui potensi produktivitas ternak di daerah dataran rendah, yang diharapkan dapat memberikan alternatif untuk mengatur kondisi lingkungan yang sesuai dengan kenyamanan hidup ternak berdasarkan suhu dan kelembaban udara optimal sehingga mendukung peningkatan produktivitas ternak.
Salah satu upaya mengatasi kekurangan suplai dapat dilakukan dengan jalan peningkatan produktivitas melalui usaha pengembangan ternak sapi perah. Selama ini pengembangan usaha peternakan sapi perah masih tersentral di lingkungan dataran sedang sampai tinggi, sehingga menjadi pembatas peningkatan produktivitas ternak karena wilayah Negara Indonesia sebagian besar juga terdiri dari lingkungan dataran rendah. Potensi ternak di lingkungan dataran rendah apabila diketahui mendekati potensi ternak di lingkungan dataran sedang sampai tinggi maka dapat dijadikan solusi peningkatan produktivitas ternak sapi perah, dengan demikian diharapkan kebutuhan konsumsi susu dan program swasembada pangan dalam negeri dapat terpenuhi.
Potensi produktivitas ternak pada dasarnya dipengaruhi faktor genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan [ Karnaen dan Arifin, 2009; Hammack, 2009]. Faktor genetik yang berpengaruh adalah bangsa ternak, sedangkan faktor lingkungan antara lain: pakan, iklim, ketinggian tempat, bobot badan, penyakit, kebuntingan, bulan laktasi dan jarak beranak, serta paritas [Epaphras, et al., 2002].
Ketinggian tempat lokasi usaha peternakan dapat mempengaruhi penampilan produksi dan reproduksi sapi perah. Hasil penelitian Calderon, et al. [2005] dan Wijono, dkk. [1993] menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata penampilan produksi dan reproduksi ternak di dataran rendah [daerah panas] dengan di dataran tinggi [daerah dingin]. Perbedaan produktivitas ini berkaitan erat dengan faktor suhu dan kelembaban udara. Interaksi suhu dan kelembaban udara atau “Temperature Humidity Index” [THI] dapat mempengaruhi kenyamanan hidup ternak. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72, apabila interaksi ini melebihi batas ambang ideal hidup ternak, dapat menyebabkan terjadinya cekaman /stres panas [Dobson, et al., 2003].
Penelitian Berman [2005], Jordan [2003] serta Westra [2007] melaporkan pengaruh langsung stres panas terhadap produksi dan reproduksi disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance sebagai upaya ternak menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis dan konsumsi pakan, sehingga mengakibatkan keseimbangan energi negatif yang berdampak penurunan kemampuan berproduksi dan sekresi hormon reproduksi yang berhubungan dengan fertilitas ternak tersebut.
Bertolak pada hal diatas, maka diperlukan pengkajian tentang penampilan produksi susu dan reproduksi ternak sapi perah di ketinggian tempat yang berbeda. Hasil penelitian ini dapat dijadikan upaya mengetahui potensi produktivitas ternak di daerah dataran rendah, yang diharapkan dapat memberikan alternatif untuk mengatur kondisi lingkungan yang sesuai dengan kenyamanan hidup ternak berdasarkan suhu dan kelembaban udara optimal sehingga mendukung peningkatan produktivitas ternak.