-->

Ads

Usaha Dan Budidaya Sapi Perah Friesian Holstein [ FH ]

Pengembangan usaha peternakan sapi perah adalah bertujuan menghasilkan susu yang maksimal, sehingga dapat menentukan tingkat pendapatan peternak.Bangsa Sapi perah FH termasuk Bos taurus  yang pertama kali diternakkan lebih dari 2000 tahun yang lalu dan berasal dari North Holland dan West Friesland [Anonymous, 2009]. Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya berasal dari persilangan sapi perah bangsa FH dengan sapi lokal yang menurunkan sapi peranakan  FH

Sebagian besar sapi perah FH mempunyai tanda-tanda: warna bulu putih dengan belang hitam atau hitam dengan belang putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari carpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus ke bawah [Anonymous, 2009]. Pada umumnya sapi perah FH bersifat jinak dan merupakan sapi tipe besar. Ukuran standar sapi perah FH adalah 470 kg sampai 730 kg untuk betina dewasa dan 800 – 1006 kg untuk sapi jantan [DeLaval, 2005]. Adapun profil sapi perah FH dapat dilihat pada Gambar.
Sapi Perah Friesian Holstein
Sapi Perah Friesian Holstein
 Sifat reproduksi, sapi  dara pertama kali dapat dikawinkan pada umur 15 bulan, ketika bobot badan 400 kg. Pada umumnya, peternak bertujuan agar sapi dara dapat melahirkan  untuk pertama kalinya antara umur 23  - 26 bulan. Periode kebuntingan  sekitar sembilan bulan [Anonymous, 2009]. Berat lahir pedet yang sehat 30 – 35 kg atau lebih, pertumbuhan cepat dan dapat mencapai 0,9 kg per hari, sehingga baik untuk penghasil daging

Kemampuan produksi susu sapi FH  lebih tinggi dibandingkan bangsa sapi perah lainnya. Di Amerika dan Inggris sapi perah FH menghasilkan susu sebanyak 8.000 kg setahun, ada juga produksi susu sapi perah FH yang mencapai antara 12.000-15.000 kg [DeLaval, 2005]. Menurut Sudono, dkk. [2003] menyatakan sapi perah FH di daerah tropis dapat menghasilkan susu lebih dari 5000 liter dalam satu masa laktasi, dan kadar lemak bervariasi antara 2,5 sampai 4,3 persen dengan rata-rata 3,5 persen. Di negara asalnya produksi susu sapi FH berkisar 6.000 - 7.000 liter dalam satu masa laktasi. Produksi susu sapi FH di Inggris tahun 2001 sebanyak 6.320 liter per laktasi [Ball dan Peters, 2004]. Sedangkan, di Indonesia sapi FH menghasilkan susu sebanyak 2.500-5.000 liter per laktasi. Produksi susu sapi FH di Jawa Barat, Indonesia mencapai 4.239,5; 4.665; 5.063,5; 5.581,5; dan 4.697 liter per ekor untuk laktasi 1, 2, 3, 4, dan 5

Ketinggian Tempat

Produktivitas ternak dicerminkan oleh penampilannya [performance], sedangkan penampilan ternak merupakan manifestasi pengaruh genetik dan lingkungan ternak secara bersama. Penampilan ternak dalam setiap waktu adalah perpaduan dari sifat genetik dan lingkungan yang diterimanya. Ternak dengan sifat genetik baik tidak dapat mengekspresikan potensi genetiknya tanpa didukung oleh lingkungan yang menunjang

Faktor lingkungan yang langsung berpengaruh pada kehidupan ternak adalah Iklim. Iklim adalah keadaan rataan cuaca di suatu tempat. Berdasarkan letak astronomis dan ketinggian tempat, iklim terbagi menjadi dua yaitu iklim matahari dan iklim fisis. Iklim matahari yaitu iklim yang didasarkan atas perbedaan panas matahari yang diterima permukaan bumi. Daerah-daerah yang berada pada lintang tinggi lebih sedikit memperoleh sinar matahari, sedangkan daerah yang terletak pada lintang rendah lebih banyak menerima sinar matahari, berdasarkan iklim matahari terbagi menjadi: iklim tropik; iklim sub tropik; iklim sedang dan iklim dingin [Kottek,et al., 2006], dapat dilihat pada Gambar 3. Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang terletak antara 60LU – 110LS dan 950- 1410BT
Iklim Matahari

Iklim Matahari

 Keadaan iklim suatu daerah berhubungan erat dengan ketinggian tempat, yang merupakan faktor penentu ciri khas dan pola hidup dari suatu ternak [Bayong, 2004]. Kemampuan berproduksi sapi perah FH  menurut penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan perbedaan produksi dengan adanya perbedaan ketinggian tempat pemeliharaan dari permukaan laut [Berman, 2005]. Berbeda dengan faktor lingkungan yang lain seperti manajemen pemeliharaan,  ketinggian tempat lokasi usaha peternakan tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia. Peningkatan produktivitas ternak yang efisien, harus disesuaikan dengan kondisi lokasi usaha ternak tersebut.
 Unsur cuaca yang berhubungan dengan ketinggian tempat adalah suhu dan kelembaban udara [Bayong, 2004]. Pada daerah dataran tinggi memperlihatkan terjadinya penurunan suhu dengan semakin bertambahnya ketinggian tempat. Pembagian daerah iklim, menurut Junghuhn [Kottek,et al., 2006] berdasarkan tinggi tempat dari permukaan laut dan suhu udara dapat dibedakan sebagai berikut:

1.    Daerah  panas/tropis
Tinggi tempat antara 0 – 600 m dari permukaan laut. Suhu 22°C -   26,3°C
2.    Daerah sedang
Tinggi tempat 600 – 1500 m dari permukaan laut. Suhu 17,1°C -  22°C
3.    Daerah sejuk
Tinggi tempat 1500 – 2500 m dari permukaan laut. Suhu  11,1°C -  17,1° C
4.    Daerah dingin
Tinggi tempat lebih dari 2500 m dari permukaan laut. Suhu  6,2°C - 11,1° C
Suhu dan kelembaban udara menurut Berman [2005]  merupakan dua faktor yang berhubungan dengan ketinggian tempat dapat mempengaruhi produktivitas  sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang meliputi:
- keseimbangan panas dalam tubuh ternak
- keseimbangan air
- keseimbangan energi
- keseimbangan tingkah laku ternak

Keseimbangan Panas

    Pengaturan keseimbangan panas atau termoregulasi merupakan upaya ternak untuk mempertahankan suhu tubuhnya pada level konstan terhadap perubahan lingkungan yang berlebihan. Indonesia termasuk daerah tropis  lembab yang dicirikan oleh suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan yang tinggi. Sapi perah termasuk hewan homoioterm yang  selalu menjaga keseimbangan antara panas tubuhnya dengan lingkungan disekelilingnya. Perubahan  lingkungan luar  segera diikuti dengan perubahan lingkungan dalam tubuh, dan dikembalikan ke kondisi semula agar seluruh kerja sistem organ kembali ke dalam keadaan normal. Kondisi ini disebut homeotermis, untuk memelihara proses fisiologis tubuh agar tetap optimal [Sturkie,1981]. Homeotermis dapat terjaga disebabkan keseimbangan sensitif di antara produksi panas [Heat Production=HP] dan kehilangan panas [Heat Loss=HL], tertera pada Gambar 4.
Keseimbangan Panas

Perolehan panas dari luar tubuh   akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh apabila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi

Pada saat  suhu  udara  lebih  tinggi  dari  suhu  nyaman  ternak, jalur   utama   
pelepasan panas hewan terjadi  melalui mekanisme  evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran panas melalui permukaan kulit [sweating] atau melalui pertukaran panas di sepanjang saluran pernapasan [panting]  dan sebagian melalui feses dan urin .  Besarnya produksi panas dipengaruhi pula oleh tingkah laku, jumlah konsumsi pakan, suhu lingkungan, laktasi, pertumbuhan dan kebuntingan  [Purwanto, 1993]. Ternak dalam kondisi tersebut menurut West [2003] cenderung menurunkan level konsumsi pakan bila berada di daerah panas. Proses ini diyakini sebagai penyebab rendahnya produktivitas ternak di daerah panas karena serangkaian proses metabolisme tubuh yang harus dilakukan untuk mempertahankan sistem kerja organ tubuh.

Stres Panas
Ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum untuk kehidupan dan produksinya. Bligh dan Johnson [1985] membagi beberapa wilayah suhu lingkungan berdasarkan perubahan produksi panas hewan, sehingga didapatkan batasan suhu yang nyaman bagi ternak, yaitu antara batas suhu kritis minimum dengan maksimum

Berman [2005] menyatakan sapi perah FH menunjukkan penampilan produksi terbaik pada suhu lingkungan 18,3oC dengan kelembaban 55%.Ternak akan selalu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya. Adaptasi lingkungan ini tergantung pada ciri fungsional, struktural serta behavioral yang mendukung daya tahan hidup ternak maupun proses reproduksinya pada suatu lingkungan. Apabila terjadi perubahan maka ternak akan mengalami stres

Stres adalah respon fisiologi, biokimia dan tingkah laku ternak terhadap variasi faktor fisik, kimia dan biologis lingkungan. Dengan kata lain, menurut Kadzere, et al. [2002] stres disebabkan oleh perubahan lingkungan yang ekstrim, seperti peningkatan temperatur lingkungan lebih tinggi di atas ZTN [Zone  temperature Neutral] yang mengakibatkan stres panas  atau ketika toleransi ternak terhadap lingkungan menjadi rendah sehingga ternak mengalami cekaman

Tingkat stres sapi perah dapat dipengaruhi oleh hubungan besaran suhu dan kelembaban udara atau biasa disebut “Temperature Humidity Index” [THI], dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 6.

Tabel 1. Indeks Suhu dan Kelembaban Relatif untuk Sapi Perah    [Wierama,1990]


Pernyataan Wierama [1990] yang dikutip Neil [2008] bahwa sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72. Jika nilai THI melebihi 72, maka ternak akan mengalami stres ringan [72 ≤ THI ≤ 79], stres sedang [80 ≤ THI ≤ 89] dan stres berat [ 90 ≤ THI ≤ 97]. Sapi perah mulai menderita setiap kali THI melebihi 72. Berman [2005] melaporkan  THI   tinggi meliputi 75 ° F dan 80% RH, 80 ° F dan  65%  RH, dan 85 ° F dan  40%  RH.  Stres sedang dapat terjadi  dengan suhu berkisar antara 80 ° F dan 100% RH sampai 90 °F dan 50% RH, menyebabkan pernapasan yang cepat, berkeringat, dan penurunan produksi susu yang dapat melebihi 10%. Stres panas yang parah, terjadi dengan suhu melebihi 90 °F dan 100% RH sampai 100 ° F dan 60% RH, menyebabkan mulut terbuka terengah-engah, suhu tubuh tinggi, dan  25% penurunan produksi susu. Kombinasi temperatur dengan kelembaban udara menurut Shioya et al., [1997] mempengaruhi dry matter intake, produksi susu, tingkat pernafasan, produksi panas serta evaporative heat loss [Tabel 2].


    Tabel 2. Pengaruh Temperatur dengan Kelembaban Udara


Faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap fenotif seekor ternak, tetapi  tidak dapat mempengaruhi genotif ternak. Menurut West [2004] secara alami ternak-ternak yang mengalami perubahan lingkungan akan ada respon dari dalam tubuhnya untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang baru sampai pada keadaan yang ekstrim sekalipun dan  apabila keadaan ini berlangsung lama maka timbul reaksi berupa penurunan status fisiologis pada ternak [Gambar 7].

Gambar 7. Efek Stres pada Status Fisiologis Ternak [Dubey dan Gnanasekar, 2008].


Berman [2005] serta Dubey dan Gnanasekar [2008]  menyatakan bahwa secara fisiologis ternak atau sapi FH yang mengalami cekaman panas akan berakibat pada : 1] penurunan konsumsi pakan; 2] peningkatan konsumsi minum; 3] penurunan metabolisme dan peningkatan katabolisme; 4] peningkatan pelepasan panas melalui penguapan; 5] penurunan konsentrasi hormon dalam darah; 6] peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung dan 7] perubahan tingkah laku; 8] meningkatnya intensitas berteduh sapi; 9] penurunan produksi susu, serta 10] penurunan penampilan reproduksi ternak [Jordan, 2003; Rensis, 2003 dan West, 2004].

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel