-->

Ads

KAIDAH : AL-IBROH BI UMUMI AL-LAFDHI LAA BI KHUSUSI AS-SABAB

          Pertama kali, mari kita membedakan antara dua hal, yaitu antara LAFADZ ayat dan SEBAB turunnya ayat. Begitu pula kita perlu membedakan dengan UMUM dan KHUSUS, yang disebut "umum" dalam pembahasan ini adalah ('aam) yaitu yang mencakup seluruh manusia atau kaum muslimin, sedangkan "khusus" yang berkaitan dengan person-person tertentu dan terbatas.


    Karenanya, dalam kaitan antara LAFAL ayat dan SEBAB turunnya ayat, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi yang masih-masing mempunyai konsekwensi atau hukumnya masing-masing. Tiga kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama : Apa bila lafal  ayat bersifat umum dan sebab turunnya pun secara umum. Maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat tersebut bersifat UMUM


Contoh dalam masalah ini adalah seperti firman Allah SWT :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ …

Artinya : `Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . ..`( al-Baqarah : 222 )
Lafadz " al-mahiid" di atas bersifat umum yang berarti semua wanita yang haid, begitu pula sebab turunnya ayat itu bersifat umum, sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik : bahwa orang-orang Yahudi pada waktu itu, ketika istri-istri mereka sedang haidh mereka mengusirnya dari rumah, dan tidak memberi mereka makan minum dan tidak berhubungan badan dengan mereka. Maka Rasulullah pun ditanya masalah ini. Maka turunlah ayat di atas, dan Rasulullah SAW  bersabda : " Lakukan apa saja selain jimak " .

    Jadi peristiswa atau pertanyaan dari sahabat kepada Rasul bersifat umum, mereka menanyakan secara umum tentang bergaul dengan istri-istri mereka yang haid secara umum, bukan satu dua perempuan atau istri mereka secara khusus. Karenanya, hukum ini juga berlaku umum bagi semua wanita haid.

Kedua : Apabila lafal ayat bersifat khusus dan sebab turunnya pun khusus pada perseorangan tertentu, maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat tersebut bersifat KHUSUS

 Contoh dalam hal ini adalah firman Allah SWT:

وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى (17) الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى (18) وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى (19) إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى (20) وَلَسَوْفَ يَرْضَى (21
Artinya : `Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu ni`mat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha TInggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.` ( al-Lail : 17-21 )

Ayat-ayat diatas diturunkan mengenai Abu Bakar. Kata al-atqa ( orang yang paling taqwa ) menurut tasyrif terbentuk af’al untuk menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-‘adiyah ( kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya ), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Jadi secara lafal memang khusus dan sebabnya adalah khusus, karena itu ayat ini harus ditafsiri khusus tentang Abu Bakar As-Shiddiq, bukan umum kepada kaum muslimin.

Ketiga : Jika sebab ayat itu adalah hal khusus berkaitan dengan orang tertentu, sedang lafal ayat yang turun berbentuk umum.

Dalam kasus inilah, kaidah diatas menjadi perdebatan di antara ulama ushul, apakah yang dijadikan pegangan adalah "lafal yang umum" ataukah "sebab yang khusus" . Berikut masing-masing pendapat dan dalil-dalinya.

1)    Jumhur ulama berpendapat :  bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus, sehingga hukum/pelajaran yang diambil adalah umum berlaku pada semua orang.
  
Misalnya :  ayat Li’an (prosesi sumpah antara suami istri untuk menolak dari tuduhan zina) yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umaah kepada isterinya : `
  
Dari Ibn Abbas, Hilal bin Umayah menuduh isterinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma dihadapan Nabi.  

Maka Nabi berkata    : ‘ Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’
Hilal berkata         : ‘Wahai Rasulullah , apa bila salah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki mendatangi isterinya; apakah ia harus mencari bukti `.
Rasulullah menjawab    : ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu akan yang didera.’
Hilal berkata        :Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhnya perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.’

    Maka turunlah Jibril as dan menurunkan kepada Nabi ayat :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9)

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS Nuur 6-9)
    Hukum yang diambil dari lafal yang umum ini : " walladzi yarmuuna azwajahum" ( dan orang-orang yang menuduh isterinya ) tidak hanya khusus mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula pada kasus yang serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Inilah pendapat yang kuat dan paling sahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman ( universalitas ) hukum-hukum syariat.
  
    Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat mengenai hal itu berbeda-beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer dikalangan ahli.

2)    Segolongan ulama berpendapat :  bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum, karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel