-->

Ads

PENINGKATAN DAYA SAING KOPERASI MELALUI DEFERENSIASI YANG KOMPETITIF, DALAM RANGKA MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL

               It’s not a question. Itulah kalimat pertama yang muncul ketika dalam suatu kesempatan saya bertanya pada seorang anggota koperasi dari suatu koperasi di Denmark. Bagi dia dan  lainnya, menjadi anggota koperasi merupakan suatu hal yang sudah turun temurun, karena banyak manfaat atau kemudahan yang diperoleh.  Mereka tidak mempersoalkan lagi berapa sisa hasil usaha (SHU) yang diperoleh, ataupun berapa SHU yang seharusnya diterima. Yang jadi pertimbangan adalah kepuasan yang mereka peroleh dari layanan yang diberikan koperasi baik dalam penyediaan barang konsumsi dan industri (seperti pakan ternak) maupun dalam penjualan hasil produksinya.  Bahkan SHU pun tidak mereka ambil, karena menurut hemat mereka, akan lebih bermanfaat untuk menambah modal koperasi.

        Bagaimana jika  pertanyaan yang sama disampaikan pada anggota koperasi di kita (Indonesia) ? Kemungkinan kisaran jawabanya antara lain untuk memperoleh kredit, membeli dengan biaya murah, agar dapat SHU, mudah menjual produknya,  terpaksa karena dipotong gajinya, dan  ada juga yang mungkin menjawab agar dapat memperoleh manfaat ekonomi langsung dan tidak langsung (ini mungkin jawaban dari anggota koperasi yang profesinya dosen/guru koperasi). Bervariasinya jawaban ini, dapat mengindikasikan bervariasinya pesan yang diterima anggota tentang perlunya berkoperasi. yang pada intinya bertujuan untuk mendapatkan efisiensi biaya  melalui pemenuhan kebutuhan secara bersama.


        Economies of scale, yaitu skala usaha yang masih menguntungkan untuk dikembangkan, merupakan salah satu alasan dari penggabungan beberapa usaha kecil sejenis menjadi satu usaha yang lebih besar. Melalui penggabungan itu dimaksudkan untuk memperkecil biaya total rata-rata, hingga keuntungan yang diperoleh bisa diperbesar. Keadaan inilah yang dijadikan alasan perlunya berkoperasi dengan melandaskan adanya manfaat ekonomi langsung melalui economies of scale disamping manfaat ekonomi tidak langsung berupa Sisa Hasil Usaha (SHU). Dengan demikian koperasi diharapkan  mampu memberi harga yang rendah pada anggotanya, dibandingkan dengan pesaingnya (koperasi pembelian), atau memberikan marjin yang menguntungkan bagi penjualan produk anggotanya (koperasi penjualan).

        Senada dengan itu, tujuan koperasi ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Kesejahteraan biasanya diejawantahkan dengan peningkatan pendapatan anggota. Peningkatan pendapatan ini  bisa berupa peningkatan pendapatan secara nominal yang ditunjukkan sesuai nilai mata uangnya maupun pendapatan secara riil yang ditunjukkan dengan kemampuan daya belinya. Semua itu pada dasarnya bermuara pada daya saing koperasi yang didasarkan pada efisiensi biaya yang memberikan baik manfaat ekonomi langsung maupun tidak langsung.  Sehingga menjadi daya tarik pula bagi anggota dan calon anggota.     
  
         Seiring dengan perkembangan dinamika lingkungan koperasi yang semakin dinamis,  daya tarik manfaat ekonomi langsung dan tidak langsung yang mendasarkan pada efisiensi biaya saja sebagai faktor daya saing ternyata tidaklah mencukupi. Paradigma daya saing koperasi harus diperluas dengan mengembangkan diferensiasi-diferensiasi kompetitif yang dimiliki koperasi. Sebagai seperangkat sistem kelembagaan yang menjadi landasan perekonomian kita, koperasi diharapkan  selalu berkembang dinamis mengikuti berbagai perubahan lingkungan. Dinamika itulah yang mengundang lahirnya beraneka pola pikir peningkatan daya saing koperasi.. Gejala seperti itu justru sangat posisitf bagi proses pendewasaan koperasi.  Terlebih dengan telah ditanda tanganinya  Asian-China Free Trade Aggrement (AC FTA). 

        Koperasi tidak dapat menghindar dari persaingan, baik yang bersifat lokal, maupun global yang disebabkan dampak dari AC FTA atau lainnya.  Secara makro,  Indonesia sebagai salah satu negara anggota ACFTA menunjukkan gejala keterpurukan dengan dampak dari AC FTA karena terganggunya pasar domestik, Usaha Mikro Kecil Menengah   (UMKM) dan koperasi.      

        Sebenarnya banyak potensi yang menguntungkan dengan penerapan ACFTA, salah satunya berpotensi menciptakan 1,7 miliar konsumen. Namun Indonesia tidak bisa memanfaatkannya karena  tidak mempersiapkan diri dan tidak memperkuat sektor riil agar bisa bersaing (Rully Indrawan, 2010).  Sebagai salah satu pilar ekonomi yang keberadaannya di back up Undang-undang, koperasi dituntut mampu memberikan kontribusinya yang signifikan terhadap ketahanan  ekonomi   kerakyatan.   

         Mensikapi hal tersebut, secara mikro, sudah saatnya koperasi harus memikirkan upaya-upaya untuk meningkatkan daya saingnya, tidak hanya mendasarkan pada efisiensi biaya saja , tetapi menciptakan diferensiasi-diferensiasi lain yang kompetitif. Dalam bahasa ekonomi, permintaan pada koperasi tidak hanya didasarkan oleh harganya yang kompetitif saja (movements  along the demand curve) tapi juga dengan mengelola faktor-faktor lain yang mula-mula dianggap tidak berubah (ceteris paribus) tapi sekarang berubah (shifts of the demand curve). Salah satunya adalah dengan melakukan diferensiasi yang kompetititif.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel