-->

Ads

SEJARAH DAN ILMU-ILMU SOSIAL

SEJARAH DAN ILMU-ILMU SOSIAL

    Sejarah dan ilmu-ilmu sosial mempunyai hubungan timbal balik. Sejarah diuntungkan oleh ilmu-ilmu sosial, dan sebaliknya. Dalam Sejarah Baru, yang memang lahir berkat ilmu-ilmu sosial, penjelasan sejarah didasarkan atas ilmu-ilmu sosial. Belajar sejarah tidak dapat dilepaskan dari belajar ilmu-ilmu sosial, meskipun sejarah punya cara sendiri menghadapi OBYEKnya. Topik-topik baru terpikirkan berkat ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian perlu diingat bahwa sejarah dan ilmu-ilmu sosial berbeda tujuannya. TUJUAN sejarah ialah memperlajari hal-hal yang unik, tunggal, idiografis, dan sekali terjadi; sedangkan ilmu-ilmu sosial tertarik kepada yang umum, ajeg, nomotetis, dan berpola. PENDEKATAN sejarah juga berbeda dengan ilmu-ilmu sosial. Sejarah itu diakronis, memanjang dalam waktu; sedangkan ilmu-ilmu sosial itu sinkronis, melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan proses; sedangkan ilmu-ilmu sosial menekankan struktur.

Kegunaan Sejarah untuk Ilmu-ilmu Sosial

    Sejarah mempunyai kegunaan untuk ilmu-ilmu sosial dalam tiga hal: 
  •  Sejarah sebagai kritik terhadap generalisasi ilmu-ilmu sosial,
  •  Permasalahan sejarah dapat menjadi permasalahan ilmu-ilmu sosial,
  •  Pendekatan sejarah yang bersifat diakronis menambah dimensi baru pada ilmu-ilmu sosial yang sinkronis.

1. Sejarah sebagai kritik terhadap generalisasi ilmu-ilmu sosial

    Ilmu sosial dalam melakukan penelitian tentang suatu masyarakat berusaha untuk merumuskan suatu generalisasi atau teori. Contohnya, Geertz dalam melakukan penelitian di Mojokunto berhasil merumuskan suatu generalisasi (teori ) “tipologi santri, abangan, dan priyayi”. Teori yang dihasilkan dari penelitian di Mojokunto ini ingin diterapkan bagi seluruh Jawa, karena ilmu sosial memang berciri “melebar dalam ruang”, yakni hasil penelitian di Mojokunto dicoba dilebarkan pemakaiannya hingga meliputi seluruh Jawa atau bahkan seluruh Indonesia, atau bahkan ke seluruh daerah di dunia ini yang mayoritas penduduknya Muslim. “Tipologi santri, abangan, dan priyayi” mendapat kritik yang tajam dari beberapa sarjana seperti Zaini Muchtarom yang melihat tipologi itu secara konseptual tidak berangkat dari dasar kategori yang sama, dimana kategori santri dan abangan berdasarkan pada tingkat pengetahuan agama Islam, sedangkan kategori priyayi didasarkan pada pekerjaan; sedangkan secara historis tidak mendapatkan dukungan fakta yang kuat, karena banyak priyayi yang memiliki ilmu agama yang kuat.

    Lagi, teori ilmu sosial yang bersifat “melebar dalam ruang” perlu mendapatkan kritikan dari sejarah. “Teori Modernisasi” atau dikenal dengan “Hukum Tiga Tingkat Perkembangan Manusia” dari Durkheim berkeyakinan bahwa manusia berkembang melalui tiga tingkatan dari “mitos, agama, dan modern”. Diyakininya hukum itu bersifat linear, yakin manusia akan berkembang dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan yang lebih tinggi. Sejarah menunjukkan bahwa banyak orang ber”agama” yang masih percaya kepada “mitos”, begitu juga banyak orang “modern” yang masih shalat (sebagai wujud dari kepercayaan pada “agama”). Berdasarkan sifat linear, Durkheim mengakui peran agama di masa lalu, tetapi percaya kalau “agama” sudah tidak relevan pada era modern karena “semangat zaman” hanya berlaku sekali, sehingga agama tidak akan dapat melakukan “reinterpretasi”. Sejarah menunjukkan bahwa agama memiliki kemampuan melakukan “reinterpretasi”. Protestan merupakan merupakan “reinterpretasi” Katholik pada era modern, dan Katholik pun melakukan “reinterpretasi” sebagai respon terhadap Protestan.
    “Teori Revolusi” dari Karl Marx perlu mendapatkan kritikan dari sejarah karena sifat ilmu sosial yang “melebar dalam ruang” tidak berdasarkan fakta sejarah yang lengkap. “Teori Revolusi” dari Karl Marx dibangun berdasarkan “Filsafat Materialisme Historis”. Teori Revolusi ini dikembangkan berdasarkan “teori perjuangan kelas” bahwa tiap-tiap tahap perkembangan masyarakat selalu dimulai dengan revolusi. Seperti “tahap masyarakat kapitalis” dicapai melalui suatu revolusi kapitalis, dimana “Revolusi Perancis” 1789 dianggap sebagai revolusi dalam pengertian modern karena berhasil menggulingkan “sistem teokrasi” dengan “sistem demokrasi”.
    Sekarang ini, menurut Marx, kaum buruh harus bersatu untuk melancarkan “revolusi komunis” sebagai langkah memasuki “tahap masyarakat komunis”. Namun sejarah tidak dapat dipaksakan menurut generalisasi-generalisasi, hukum-hukum, atau teori-teori ciptaan ilmuwan  sosial; sejarah berkembang menurut dinamikanya sendiri. “Tahap masyarakat kapitalis” tidak dimulai sejak “Revolusi Perancis” 1789, karena sebelumnya sudah ada “Revolusi Inggris” yang mengubah sistem produksi secara modern dengan menggunakan mesin. Itu kalau kita konsisten bahwa ekonomi ditandai oleh sistem produksinya; tetapi banyak sarjana yang mengkaitkan ciri masyarakat kapitalis dengan sistem demokrasi, sehingga mereka berkeyakinan kalau “Revolusi Perancis” sebagai tonggak bagi era modern. Jadi di sini ada kerancuan menggabungkan tipologi sistem ekonomi “masyarakat kapitalis” dengan tipologi sistem politik “demokrasi”.
    Sejarah juga menunjukkan tidak ada Revolusi Komunis di negara-negara industri maju seperti di Eropa Barat, Amerika, dan Jepang. Revolusi Komunis justru terjadi di negara-negara yang industrinya belum begitu berkembang, sehingga lahir asumsi bahwa Revolusi Komunisme akan muncul bila keadaan masyarakatnya miskin. Atas dasar itu negara-negara industri maju memperkenalkan konsep “Welfare State” (negara kesejahteraan), dimana negara memberi perhatian kepada orang-orang miskin dalam bentuk pelayanan kesehatan seperti pendidikan, kesehatan, sarana dan prasana umum. Konsep welfare state merupakan modifikasi dari konsep “negara kapitalis”. Dalam negara kapitalis, individu memiliki kekuasaan yang besar; sedangkan dalam “welfare state”, negara mendapatkan justifikasi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Uraian bisa lebih panjang lagi, namun saya kira hal ini sudah cukup.
    Memang “Teori Revolusi” dari Karl Marx dan juga generalisasi atau teori lainya perlu mendapatkan kritikan dari sejarah karena sifat ilmu sosial yang “melebar dalam ruang” tidak bisa diterima. Namun, terlepas dari kritikan sejarah itu, generalisasi atau teori akan sangat berguna bagi perkembangan ilmu, termasuk bagi perkembangan ilmu sejarah. Sosiolog terkenal Max Weber (1864-1920) dalam metodologi ilmu-ilmu sosial menggunakan “ideal type”, sebagai salah satu contoh dari generalisasi, untuk mempermudah penelitian, yang sangat berguna bagi sejarawan. Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan historis yang faktual, ternyata tipe ideal itu banyak yang tidak mempunyai dasar faktual. Buku Weber yang terkenal, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menyatakan bahwa timbulnya kapitalisme dikarenakan semangat Protestan yang memperkenankan orang untuk menimbun kekayaan, tidak untuk dinikmati, tetapi untuk mengabdi pada Tuhan. Jadi orang mulai menanam modal.
    Buku Karl Wittfogel, Oriental Despotism, yang berisi teori tentang hydraulic society bahwa dalam masyarakat pengguna air sungai –di sekitar sungai-sungai Nil, Indus, dan Yang Tse- bisa timbul raja yang berkuasa mutlak (raja despotis) untuk membagikan air. Bila teori hydraulic society itu akan dipakai untuk menganalisa birokrasi di Jawa maka kita perlu mencari tahu apakah di tempat ini benar-benar ada hjydraulic society. Memang di Jawa ada patrimonialisme, tetapi kekerasan dan kekejaman yang ada sifatnya individual, tidak massal, sebab di Jawa raja tidak bisa membiayai tentara yang jumlahnya besar. Ketika Sultan Agung menyerbu Batavia pada tahun 1628 ia menggunakan bupati pantai utara Bahureksa. Di Bali teori itu akan dihadapkan pada fakta sejarah bahwa urusan air tidak diatur oleh negara tetapi oleh lembaga subak.

2. Permasalahan sejarah dapat menjadi permasalahan ilmu-ilmu sosial

    Materi sejarah seperti Tanam Paksa sudah banyak dikaji oleh para pakar ilmu-ilmu sosial. Seperti Soedjito Sosrodihardjo menulis tentang struktur masyarakat Jawa dan Loekman Soetrisno menulis tentang perubahan pedesaan. Keduanya adalah sosiolog.
    Contoh lain yang paling spektakuler ialah buku Barington Moore, Jr., Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World, yang membuat generalisasi tentang revolusi Inggris, Perancis, Amerika, Cina, Jepang, dan India. Dia membuat generalisasi tentang tiga jalan menuju dunia modern.
  1. 1. Jalan gabungan antara kapitalisme dan demokrasi parlementer, seperti ditempuh Revolusi Puritan, revolusi Perancis, dan Revolusi Amerika.
  2. 2. Jalan kapitalisme tetapi peran negara sangat dominan, sehingga dikenal revolusi dari atas yang bermuara pada fasisme, seperti yang dialami Jerman dan Jepang.
  3. 3. Jalan komunisme, seperti yang dialami Rusia dan Cina.
  4. 4. Adapun India tidak mengenal revolusi borjuis, revolusi konservatis, atau revolusi komunis. Karena itu India mengalami stagnasi pada tahun 1960-an.
Mengenai peranan petani dikatakan Moore bahwa petani menentukan dalam revolusi di Rusia dan Cina, penting di Perancis, kecil di Jepang, tidak penting di India, dan meragukan di Jerman dan Inggris.
    Ada lagi Roland Mousnier yang membandingkan revolusi petani dan Eric R. Wolf mengenai perang petani pada abad ke-20.

3. Pendekatan Sejarah yang bersifat Diakronis Menambah Dimensi Baru pada Ilmu-ilmu

    Sosial yang Sinkronis
    Dua buku Clifford Geertz adalah suatu contoh penggunaan pendekatan sejarah untuk antropologi, yaitu Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia dan The Social History of an Indonesian Town.
    Dalam buku pertama, Geertz menganalisa perubahan ekologi di Jawa. Dengan membedakan Indonesia dalam dan Indonesia luar, yang mempunyai ekologi yang berbeda, yaitu sawah dan ladang, Geertz bertanya mengapa Jawa dapat menampung pertambahan penduduk. Kuncinya terletak karena sejak abad ke-19 di Jawa ditanami tebu. Ternyata tebu dapat bersimbiose dengan padi. Demikianlah, meskipun ada shared poverty, tetapi Jawa dapat menampung banyak penduduk.
    Dalam buku kedua, Geertz melukiskan kota Mojokuto berdiri pada abad ke-19 di jalan di mana perusahaan-perusahaan pertanian mulai beroperasi. Kota itu dapat menjadi contoh bagi banyak kota di ujung Jawa Timur, yang merupakan wilayah frontier yang baru dibuka bersamaan dengan pembukaan perkebunan. Penduduk kota itu adalah migran dari tempat-tempat lain yang tenaga kerjanya mengalami tekanan karena Tanam Paksa.
    Kedua buku itu menjadi contoh bagaimana sejarah yang menekankan proses dapat membantu ilmu-ilmu sosial yang menekankan struktur.
    Buku Elly Touwen-Bouwsma, Staat, Islam en locale leiders in West Madura, Indonesia: Een historisch-Anthropologisch Studie, selain riset antropologi dengan penelitian lapangan, juga dikombinasikan dengan penemuan-penemuan sejarah. Selain dia, juga tentunya lebih banyak lagi penelitian dari jurusan Niet-westerse sociologie yang berbuat serupa.
    Hasil dari perpaduan itu tetap diakui sebagai ilmu sosial dan bukan sejarah. Misalnya, kita kenal historical sociology dan historical demography. Batas antara keduanya seringkali kabur.

Kegunaan Ilmu-ilmu Sosial untuk Sejarah
    Sejarah Baru yang memang lahir dari adanya perkembangan ilmu-ilmu sosial menjadi bukti bagaimana besar pengaruh ilmu-ilmu sosial pada sejarah. Pengaruh ilmu-ilmu sosial pada sejarah dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu (1) konsep, (2) teori, (3) permasalahan, dan (4) pendekatan.
    Meskipun demikian, penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah itu bervariasi. Variasi itu ialah (1) yang menolak samasekali, (2) yang menggunakan secara implisit, dan (3) yang menggunakan secara eksplisit. Tentu saja ada varian campuran dan kekaburan batas.
    Yang menolak sama sekali penggunaan ilmu-ilmu sosial berpendapat:
1. Bahwa penggunaan ilmu-ilmu sosial akan berarti hilangnya jati diri sejarah sebagai ilmu yang diakui keberadaannya, jadi sejarah cukup dengan common sense (akal sehat, nalar umum, akal sehari-hari) dan penggunaan dokumen secara kritis. Tanpa ilmu-ilmu sosial sejarah dapat menjadi dirinya sendiri. Sejarah itu harus mendekati obyeknya tanpa prasangka intelektual (memakai semacam grounded research). Dari penelitian akan timbul dengan sendirinya pengelompokan-pengelompokan, dari dalam kita akan dapat insight, tidak dari luar melalui ilmu-ilmu sosial. Misalnya, tanpa konsep intelektual apa pun kita tahu bahwa ada revolusi antara tahun 1945-1950.
2. Penggunaan ilmu-ilmu sosial hanya akan menjadikan sejarah ilmu yang tertutup secara akademis dan personal. Dari sudut pandang akademis, tanpa ilmu-ilmu sosial maka sejarah akan bersifat multidisipliner. Dengan ilmu-ilmu sosial, sejarah akan kehilangan sifat kemandiriannya sebagai the ultimate interdisciplinarian. Secara personal, sejarah akan punya peristilahan teknis, dan ini tidak menguntungkan. Sebab, orang yang “hanya” berbicara dengan bahasa sehari-hari akan menyingkir. Kemana mereka, kalau tidak ke sejarah? Begitu banyak orang berbakat yang menjadi amatir, hanya karena sejarah menggunakan ilmu-ilmu sosial.
    Ternyata, tanpa ilmu-ilmu sosial, sejarah dapat ditulis dengan baik. Tulisan Taufik Abdullah, Schools and Politics: the Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933). Demikian juga buku-buku H.J. de Graaf tentang Matara, M.C. Ricklefs tentang Yogyakarta abad ke-18, Peter Carey tentang Yogyakarta abad ke-19, dan Leonard Blusse tentang Batavia abad ke-17. Semua itu ditulis dengan kekayaan dokumen, ketelitian, sikap kritis, cerdas, dan rhetorika yang baik. Jangan sampai penggunaan analisis ilmu-ilmu sosial dipakai untuk menutupi kekuarangan rhetorika.
    Akan tetapi, mereka yang tidak memakai ilmu-ilmu sosial pun setuju bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial amat penting karena ilmu-ilmu sosial akan mempertajam insight sejarawan.
Adapun penggunaan ilmu-ilmu sosial meliputi:
KONSEP
    Bahasa Latin conceptus berarti gagasan atau ide. Sadar atau tidak, sejarawan banyak menggunakan konsep ilmu-ilmu sosial. Anhar Gonggong dalam disertasinya tentang Kahar Muzakkar menggunakan konsep local politics untuk menerangkan konflik antar golongan di Sulawesi Selatan. Untuk menerangkan pribadi Kahar Muzakkar ia memakai konsep sirik dari ethno psychology yang berarti harga diri atau martabat. Demikianlah, Kahar harus pergi merantau karena sirik dan kembali ke Sulawesi Selatan juga karena sirik.
    Suhartono dalam, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, menggunakan konsep rural elite untuk menerangkan bekel dan konsep counter elite dan rural bandit untuk menerangkan perampok kecu.

TEORI
    Bahasa Yunani theoria berarti, di antaranya, “kaidah yang mendasari suatu gejala, yang sudah melalui verifikasi”; ini berbeda dengan hipotesis. T Ibrahim Alfian dalam buku Perang di Jalan Allah menerangkan Perang Aceh denga teori collective behaviour dari Neil J Smelser. Dalam teori itu diterangkan bahwa perilaku kolektif dapat timbul melalui dua syarat, yaitu ketegangan struktural (structural strain) dan keyakinan bersama (generalized belief). Ada ketegangan antara orang Aceh dengan pemerintah kolonial, antara Muslim dengan kape, yang menghasilkan ideologi perang sabil.

PERMASALAHAN
    Banyak permasalahan ilmu-ilmu sosial yang dapat diangkat menjadi topik penelitian sejarah seperti mobilitas sosial, kriminalitas, migrasi, gerakan petani, budaya istana, kebangkitan kelas menengah, dsb. Salah satu contoh buku Sartono Kartodirdjo et al., Perkembangan Peradaban Priyayi. Buku itu ditulis berdasarkan permasalahan elite dalam pemerintahan kolonial, kemunculannya, lambang-lambangnya, dan perubahan-perubahannya.

PENDEKATAN
    Sebenarnya, semua tulisan sejarah yang melibatkan penelitian suatu gejala sejarah dengan jangka yang relatif panjang (aspek diakronis) dan yang melibatkan penelitian aspek ekonomi, masyarakat, atau politik (aspek sinkronis) pastilah memakai juga pendekatan ilmu-ilmu sosial.
    Pemakaian yang implisit dapat dijumpai pada tulisan Soegijanto Padmo The Cultivation of Vorstenlanden Tobacco in Surakarta Residency and Besuki Tobacco in Besuki Residency and its Impact on the Peasant Economy and Society 1860-1960. Tulisan yang membicarakan penanaman tembakau dan pengaruhnya pada ekonomi dan masyarakat itu memakai pendekatan ilmu-ilmu sosial sehingga tulisan itu bisa dimasukkan dalam sejarah sosial.
    Agak eksplisit ialah disertasi Kuntowijoyo, Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940. Disertasi itu membicarakan Madura yang berubah dari patrimonialisme ke kolonialisme. Disertasi itu, di antaranya, menanyakan mengapa dalam perubahan kelas tidak terjadi. Apa yang disebut Vilfredo pareto sebagai circulation of the elites tidak ada di Madura. Ternyata jawabnya ialah karena Belanda menjamin bahwa para bangsawan akan dipekerjakan sebagai pegawai baik sipil maupun militer.
    Di bawah ini akan diberi contoh bagaimana ilmu-ilmu sosial berguna untuk sejarah. Bagi tiap ilmu akan diberikan tiga kasus fiktif, sekedar sebagai gambaran bagaimana ilmu-ilmu sosial memperkaya sejarah.
SOSIOLOGI. Spesialisasi dalam sosiologi seperti sosiologi keluarga, sosiologi desa, dan sosiologi kota; teori-teori sosiologi seperti stratifikasi, revolusi, kekuasaan; konsep-konsep sosiologi seperti mobilitas sosial, perubahan sosial, dan solidaritas; semuanya perlu dikuasai untuk menulis sejarah sosial.
    Latar belakang: Dari buku Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises Over Banyan Trees, kita tahu bahwa keluarga, banu, di Kota Gede sebelum perang selalu menjadi wiraswasta. Tetapi, kemudian mengalami priyayinisasi, menjadi pegawai.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel