Penanganan HIPERTROFI PROSTAT JINAK Pada Lanjut Usia
12:46 AM
Edit
Penanganan HIPERTROFI PROSTAT JINAK Pada Lanjut Usia
Berdasarkan angka otopsi perubahan mikroskopik
pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik.
Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun
sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala
dan tanda klinik.
Etiologi
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen, karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Karena proses pembesaran prostat
terjadi secara perlahan-lahan maka efek perubahan juga terjadi secara
perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan
detrusor menjadi lebih tebal. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi
sehingga terjadi retensi urin.
Gambaran klinik
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan
iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan kemih berarti penderita harus
menunggu pada permulaan miksi, miksi tersebut menetes pada akhir, pancaran
miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi
disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi
miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi
karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi
cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi
meskipun belum penuh.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi
retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam
kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita
tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada suatu saat
vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus
meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan
sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko-ureter, withdraw ureter, hidronephrosis, dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi
penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau
hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan di
dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks dapat terjadi pielonephritis.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan
keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di
dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur harus diperhatikan
konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas
atas dapat diraba.
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan
menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan
mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih seteleh miksi. Sisa
urin >100 cc dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada
hipertrofi prostat.
Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan
mengukur pancaran urin pada waktu miksi, disebut uroflowmetri. Angka normal
pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedang
maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan
obstruksi infravesika tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih.
Pemeriksaan Pencitraan
Dengan pemeriksaan radiologik seperti foto polos
perut dan pielografi intravena dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit
ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronephrosis, atau divertikel kandung
kemih. Kalau dibuat foto setelah miksi dapat dilihat sisa urin. Pembesaran
prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung
kemih. Secara tidak langsung pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila
dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung distal
ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal
buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang
kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd.
Ultrasonografi dapat dilakukan secara
transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonogarphy = TRUS).
Selain untuk mengetahui pembesaran prostat pemeriksaan ultrasonografi dapat
pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain
seperti divertikel, tumor dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal dapat
diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar
prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik.
Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada
anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan
mikrohematuria. Pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di
dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari
muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu sistoskopi dapat
juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra
pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
Diagnosa banding
Proses miksi tergantung pada kekuatan kontraksi
detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi
urethra. Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor
tersebut. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung
kemih neurologik) misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah
radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat
penenang, obat penghambat reseptor ganglion, dan parasimpatolitik. Kekakuan
leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi urethra
disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung
kemih, batu di urethra, atau striktur urethra. Kelainan tersebut dapat dilihat
dengan sistoskopi.
Penanggulangan
Penderita datang ke dokter bila hipertrofi prostat
telah memberikan keluhan klinik. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan
klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate
symptom score). Skor ini berdasarkan jawababan penderita atas delapan
pertanyaan mengenai miksi.
Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap di
bawah 15. Untuk itu dianjurkan dilakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS.
Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.
Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat
I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan. Penderita derajat I biasanya
belum memerlukan tindakan bedah diberikan pengobatan konservatif misalnya
dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosi dan terazosin.
Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hyperplasia prostat
sedikitpun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
Derajat II merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui urethra (transurethral
resection = TUR). Kadang derajat II dapat dicoba dengan pengobatan
konservatif.
Pada derajat III, reseksi endoskopik dapat
dikerjakan oleh pembedah yang cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya
dilakukan pembedahan kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.
Pada hipertrofi derajat IV tindakan pertama yang
harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total
dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu dilakukan pemeriksan lebih
lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Penderita yang keadaan umunya tidak memungkinkan
untuk dilakukan pembedahan dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif lain
ialah dengan pemberian obat anti androgen yang menekan produksi LH. Kesulitan
pengobatan konservatif ini ialah menentukan berapa lama obat harus diberikan
dan efek samping obat.
Pengobatan lain yang invasif minimal ialah
pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat
melalui antena yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara ini yang disebut transurethral
microwave thermotherapy (TUMT) diperoleh hasil perbaikan kira-kira 75%
untuk gejala obyektif.
Pada penanggulangan invasif minimal lain digunakan
cahaya laser, yang disebut transurethral ultrasound guided laser induced
prostatectomy (TULIP) juga diperoleh hasil yang cukup memuaskan.
Urethra di daerah prostat juga dapat didilatasi
dengan memakai balon yang dikembangkan di dalamnya (transurethral balloon
dilatation = TUBD). TUBD ini biasanya memberi perbaikan yang bersifat
sementara.