PENANGANAN INKONTINENSIA URIN Pada Lanjut Usia
12:43 AM
Edit
PENANGANAN
INKONTINENSIA URIN Pada Lanjut Usia
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering
ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri
yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah
inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian
bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami
inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan
bagian normal proses menua.
Klasifikasi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin diklasifikasikan :
1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol
atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila
delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap
kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia
urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur
tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi
anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada
vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia
urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat
memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal
jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian
mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga
dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel
Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic,
psikotropik, antikolinergik dan diuretic.
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia
urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :
D à Delirium
R à Restriksi mobilitas, retensi urin
I à Infeksi, inflamasi, Impaksi
P à Poliuria, pharmasi
2. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat
diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan
klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat
karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.
Kategori klinis meliputi :
a. Inkontinensia urin stress :
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya
tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.
Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab
tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada
sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh
mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang
keluar dapat sedikit atau banyak.
b. Inkontinensia urin urgensi :
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan
dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya
dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity).
Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi
ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.
Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan
untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe
urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75
tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan
kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi
tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala
seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu
perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia
urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
c.
Inkontinensia
urin overflow :
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan
dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh
obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes
melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya
mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah
penuh.
d. Inkontinensia urin fungsional :
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak
terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih.
Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor
lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor
psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul
dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe
inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua
komponen.
Evaluasi Inkontinensia Urin
Tujuan evaluasi awal adalah untuk memastikan adanya inkontinensia urin dan
mengenali penyebab-penyebab yang bersifat sementara, pasien yang perlu
dievaluasi lebih lanjut, dan pasien yang bisa memulai pengobatan tanpa
memerlukan uji-uji yang canggih.
Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar
dapat ditentukan tipe inkontinensia, patofisiologi dan faktor-faktor pemicu.
a.
Lama dan
karakteristik inkontinensia urin
·
Waktu dan
jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat kering (kontinen)
·
Asupan
cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya.
·
Gejala lain
seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri.
·
Kejadian yang
menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan.
·
Perubahan
fungsi usus besar atau kandung kemih.
·
Penggunaan
Pad atau Modalitas lainnya.
b.
Pengobatan
inkontinensia urin sebelumnya dan hasilnya
Riwayat medis harus memperhatikan masalah-masalah
seperti diabetes, gagal jantung, insufisiensi vena, kanker, masalah neurologis,
stroke dan penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya riwayat sistem urogenital
seperti pembedahan abdominal dan pelvis, melahirkan, atau infeksi saluran
kemih. Evaluasi obat-obatan baik yang dibeli dengan resep maupun dibeli bebas
juga penting dilakukan. Beragam obat dikaitkan dengan inkontinensia urin
seperti hipnotik sedatif, diuretik, antikolinergik, adrenergik dan calcium
channel blocker. Biasanya ada hubungan dengan waktu antara penggunaan
obat-obatan dengan awitan inkontinensia urin atau memburuknya inkontinensia
yang sudah kronik.
Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan
membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu
harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi
neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.
Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa
nyeri, massa, atau riwayat pembedahan. Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis
harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia. Pemeriksaan rectum terutama
dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus
sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat
dikenali pada saat pemeriksaan rectum. Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi
mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya
sistokel atau rektokel. Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan
rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles
bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi
penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan
penyakit parkinson. Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian
tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari
keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.
Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin
1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada
inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial
mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan
tipe inkontinensia.
Ø Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan
dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter,
urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik
pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak
adekuat.
Ø Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang
bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya
inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal
didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
o
Tes
laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,
kalsium glukosa sitologi.
o
Tes
urodinamik à untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih
bagian bawah
o
Tes tekanan
urethra à mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
o
Imaging à tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
2. Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa
menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan
pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan
ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan
penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika
kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk
batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya
urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat
pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih
tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium
serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan
poliuria.
4. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk
mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah
urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala
berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut
dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau
respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat
menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada
dirinya.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya
waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal,
maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah
dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang
mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi
saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang
dapat dilakukan adalah :
Ø Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang
interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk
berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval
waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Ø Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
Ø Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari
lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Ø Melakukan latihan otot dasar panggul dengan
mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara
mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :
· Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan
dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10
kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan
jarum jam ± 10 kali.
· Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita
buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi
lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.
3. Terapi
farmakologi
Ø Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia
urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine,
flavoxate, Imipramine.
Ø Pada inkontinensia stress diberikan alfa
adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
Ø Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis
seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi
pembedahan
Terapi
ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi
urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5. Modalitas
lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah
medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah
pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
Ø Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun
pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia
urin.
Namun pemasangan pampers juga dapat
menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya
tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab,
selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk
digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga
terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara
yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung
kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
Ø Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang
digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah
baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta
membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.