-->

Ads

Paradigma Ilmu Akuntansi di Indonesia

Paradigma Ilmu Akuntansi di Indonesia

Begitu banyak praktik manajemen kita berasal dari industri. Itu memberi keyakinan bahwa kita harus mengontrol dan mengelola manusia. Itu juga yang membentuk pandangan kita mengenai akuntansi, sedemikian sehingga manusia dianggap biaya, sementara mesin dipandang sebagai aset. Coba pikirkan hal ini. Manusia diletakkan dalam perhitungan rugi-laba sebagai pengeluaran; sedangkan peralatan dalam pembukuan sebagai investasi (Robert Covey).

Akuntansi sebagai ilmu pengetahuan yang diharapkan oleh banyak orang untuk bisa menciptakan sebuah laporan yang independen dan wajar nampaknya masih dinilai kurang baik oleh banyak orang tersebut. Hal ini terbukti dengan salah satunya adalah  banyaknya pernyataan-pernyataan yang secara langsung menunjukkan ketidak setujuan prinsip-prinsip.

Akuntansi merupakan ilmu paling konservatif sepanjang sejarah. Selama perjalanan perkembangan akuntansi, ilmu ini tidak sedikit membuat heboh dunia dengan skandal-skandal yang ada, khususnya yang berkaitan dengan manipulasi laporan keuangan. Akibatnya ketidakpercayaan masyarakat telah timbul kepada akuntan-akuntan dan lebih parahnya lagi, kepercayaan masyarakat itu sendiri kepada kemampuan ilmu akuntansi sebagai pusat pertanggungjawaban kegiatan perusahaan yang disajikan dalam laporan keuangan telah berkurang.

Akuntansi sudah dianggap semakin konservatif karena disamping banyaknya skandal yang terjadi, akuntansi juga mempunyai teori-teori yang dianggap bersimpangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dalam bahasan ini, penulis mengangkat masalah penyimpangan nilai-nilai kemanusiaan di dalam ilmu akuntansi yang sudah menjadi anggapan umum masyarakat. Memang harus disadari bahwa selama ini akuntansi memiliki kekurangan dalam praktiknya, yaitu akuntansi tidak dapat memberikan pertanggungjawaban dalam bentuk kualitatif. Akuntansi hanya berfokus kepada data kuantitatif. Hal tersebut membuat laporan keuangan tidak dapat memberikan nilai berapa besarkah kepuasan konsumen atau seberapa kompetenkah karyawan yang perusahaan miliki.

Akibatnya, akuntansi hanya dapat menilai benda-benda yang countable saja. Sehingga orang-orang menyangka (termasuk motivator kelas dunia, Robert Covey) bahwa akuntansi melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini diperkuat dengan standar akuntansi yang memasukkan benda-benda mati tersebut, baik nyata maupun tidak nyata (contoh: piutang, gedung, mesin, sediaan, aset taknyata) pada bagian aset atau sesuatu yang perusahaan kuasai dan punya manfaat dimasa mendatang. Sebaliknya, manusia yang mempunyai rasa dan harkat martabat tinggi dijadikan sebagai biaya (expense) pada laporan laba rugi, dimana biaya (expense) berarti mengurangi laba perusahaan sehingga harus diatur dan diminimalkan sedemikian rupa agar laba perusahaan menjadi lebih besar. Secara tidak langsung, berarti akuntansi dianggap oleh banyak orang sebagai ilmu yang membendakan manusia dan memanusiakan benda.

Pernyataan di atas tentunya adalah pernyataan orang-orang awam yang belum sepenuhnya mengerti apalagi mendalami akuntansi. Memang benar, bahwa akuntansi memasukkan benda-benda mati kedalam aset sedangkan memasukkan manusia kedalam biaya yang mengurangi laba. Tapi, sebenarnya dengan diberlakukannya standar seperti itu, akuntansi telah memanusiakan manusia selayak-layaknya tanpa sedikitpun merendahkannya. Alasannya, karena manusia adalah uncountable object, yang tidak bisa diukur dalam satuan moneter. Namun berhubung di dalam menjalankan operasi perusahaan, manusia adalah objek yang tidak bisa dipisahkan, maka tidak mungkin akuntansi menghilangkan manusia di dalam pelaporan keuangan. Akibatnya, manusia dimasukkan kedalam laporan laba rugi sebagai biaya,  yang maksudnya sama sekali tidak menganggap manusia sebagai pengurang laba. Angka yang terkandung didalam biaya gaji (wage expense) bukanlah harga seorang manusia, namun angka-angka tersebut menggambarkan pengorbanan perusahaan dalam menghargai usaha manusia (dalam hal ini karyawan) tersebut.

Jika manusia dimasukkan kedalam aset, sesungguhnya hal itu akan membendakan manusia itu sendiri. Di dalam aset, pos-pos yang terdapat di dalamnya harus bisa diukur dalam unit moneter, sedangkan kita meyakini bahwa manusia adalah uncountable object yang tidak ternilai harganya. Terlebih lagi, di dalam aset terdapat depresiasi akumulasian (accumulated depreciation) yang menyebabkan berkurangnya nilai buku (book value) suatu aset (misalnya depresiasi akumulasian gedung). Jika manusia ditempatkan di dalam aset, mungkinkah depresiasi diberlakukan bagi manusia? Tentu saja tidak mungkin bila manusia mempunyai kos yang mengurangi harga dirinya.

Kesimpulannya, Orang-orang yang tidak belajar akuntansi secara menyeluruh pasti akan mengira ilmu ini adalah ilmu yang membosankan. Namun kita, sebagai akademisi, harus bisa menunjukkan kepada “orang-orang tersesat” itu, agar mereka bisa mengenali akuntansi secara menyeluruh, tidak dari kulitnya saja.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel