-->

Ads

Da’wah Memerlukan Keteguhan Jiwa (Kekuatan Sikap)

Da’wah Memerlukan Keteguhan Jiwa (Kekuatan Sikap)

Adapun kekuatan Rasulullah SAW tampak pada kekuatan dari kebenaran yang beliau serukan melalui untaian kalimat yang jelas dan tegas, penuh percaya diri. Begitu pula tampak pada keteguhan hati beliau dalam berda’wah tidak pernah berkurang semangatnya, walaupun menghadapi berbagai kesulitan yang menghadapi perjalanan da’wahnya atau rintangan dan kesulitan yang dihadapi ketika melaksanakan da’wah.
Meskipun menghadapi berbagai intimidasi dan provokasi dari kaumnya agar beliau meninggalkan da’wah meskipun ditawarkan kepada beliau kesenangan dunia berupa kekuasaan, harta benda, wanita dan pengobatan medis gratis jika Rasulullah SAW “gila” karena wahyu (menurut anggapan mereka), namun beliau tetap tegar secara konsisten dan konsekuen.

Selain itu muncul ‘tekanan’ yang dilakukan oleh pamannya sendiri (Abu Thalib) yang selama ini menjadi pelindung dan penolongnya. Menyuruh beliau meninggalkan da’wah agar tidak menyulitkan posisi pamannya dihadapan para pemimpin Quraisy. Tetapi dalam kenyataannya, beliau memperlihatkan kesiapannya untuk berjuang dan menanggung resiko, walaupun berwujud kematian dalam menegakkan da’wah yang telah Allah SWT turunkan kepadanya. Beliau tidak bergeming dari pendiriannya itu dan tidak pula mundur walau setapak pun dari tipu daya dan makar kaum Quraisy yang dilancarkan terhadap beliau dan para pengikutnya. Bahkan beliau sempat menyampaikan pernyataan yang masyhur di hadapkan pamannya, yaitu:

“Demi Allah, hai pamanku. Seandainya mereka meletakkan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku supaya aku tinggalkan perkara (da’wah) ini, tiadalah aku tinggalkan sampai Allah memenangkan da’wah atau aku binasa karenanya.”  (Tarikh Tabari, Tarikh Ibnu Atsar)

Lebih dari itu, selama Rasulullah SAW dan para shahabatnya mengemban da’wah ini di Makkah, mereka tidak pernah berdamai apabila bekerja sama dengan seorang pemimpin atau pembesar manapun dan tidak pula peduli terhadap perlakuan kasar dan keras dari pembesar tersebut. Semua ini dilakukan dan dipertahankan dalam rangka menegakkan kebenaran. Bahkan mereka menentang masyarakat, sekalipun kesulitan dan bahaya serta segala rintangan harus dihadapi. Tidak terpetik dalam diri mereka, ketika mengemban da’wah ini, keinginan untuk mendapatkan kedudukan, kebesaran, atau kemaslahatan diri mereka serta keinginan-keinginan pribadi lainnya. Tidak ada perasaan takut ditentang dalam keadaan hidup dan mati. Tidak merasa khawatir dengan kedudukan duniawi. Tidak peduli dengan rezeki dan masa depan mereka karena Allah SWT yang telah menentukan semua itu. Tidak pula goyah sedikit pun pendirian mereka dalam menghadapi penghinaan, penderitaan, siksaan dan kemiskinan. Dari semua sikap yang demikian itu, nampak sekali bagi kita betapa kuatnya pribadi-pribadi mereka itu.

Da’wah memerlukan Keterusterangan

Mengemban da’wah Islam mengharuskan kedaulatan secara mutlak hanya untuk mabda’ (ideologi) Islam, tanpa mempertimbangkan apakah hal ini sesuai dengan keinginan masyarakat pada umumnya atau justru bertentangan; apakah sesuai dengan adat istiadat ataukah bertolak belakang; apakah mabda’ itu diterima oleh masyarakat, ditolak atau bahkan dimusuhi. Seorang pengemban da’wah tidak akan mencari muka dan berbasa-basi di depan masyarakat, bermuka dua atau bersikap toleran terhadap penguasa yang dzolim. Seorang pengemban da’wah tidak akan memperdulikan kebiasaan masyarakat beserta adat istiadatnya. Dia tidak memperhitungan apakah da’wahnya diterima oleh masyarakat atau ditolak. Dia akan berpegang teguh pada pada prinsip mabda’ Islam saja, dan hanya menyuarakan mabda’ itu saja, tanpa memperhitungkan nilai apapun selainnya. Tidak boleh mengatakan kepada orang-orang yang bermabda’ lain: ‘berpegang teguhlah pada prinsip kalian’ tetapi hendaknya mereka diajak (tanpa paksaan) untuk memeluk mabda’ Islam. Sebab, da’wah menuntut kedaulatan hanya untuk Islam semata, bukan untuk yang lain dan bahwasanya hanya Islamlah yang berkuasa di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana firman Allah SWT:


هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
‘Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar, untuk dimenangkan-Nya atas seluruh agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.”
(QS. At Taubah: 33)

Rasulullah SAW datang ke dunia ini dengan membawa risalah Islam dan menyampaikan secara terang-terangan dan menantang. Beliau menyakini kebenaran risalah yang diembannya kepada masyarakat, menantang dunia secara keseluruhan, mengumumkan perang atas seluruh manusia yang menolak Islam tanpa memperhatikan warna kulit, memperdulikan adat istiadat, tradisi, kebiasaan-kebiasaan, agama-agama, kepercayaan-kepercayaan, sikap penguasa atau rakyat kebanyakkan. Beliau tidak memperhatikan sesuatu pun selain Risalah Islam.

Rasulullah SAW telah memulai da’wahnya terhadap orang-orang Quraisy dengan menerangkan kelemahan Tuhan-tuhan mereka, menentang dan meremehkan seluruh kepercayaan-kepercayaan mereka. Sedangkan beliau pada saat itu dalam keadaan sendirian dan diisolasi masyarakat, tanpa pendukung dan tanpa bekal selain imannya yang amat dalam terhadap Islam yang beliau serukan.

Demikian pula seharusnya sikap dan tindakan seorang pengemban da’wah Islam, yaitu menyampaikan da’wah secara terang-terangan; menentang segala kebiasaan, adat-istiadat, ide-ide sesat dan persepsi yang salah; bahkan akan menentang opini umum masyarakat kalau memang keliru, sekalipun untuk ini dia harus bermusuhan. Begitu pula dia akan menentang kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama yang ada sekalipun harus berhadapan dengan kefanatikan para pemeluknya atau harus menghadapi kebencian orang-orang yang berada pada kesesatan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel