PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN
1:06 AM
Edit
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2010
TENTANG
USAHA BUDIDAYA TANAMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 ayat (3) dan
Pasal 51 Undang‑Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Usaha Budidaya Tanaman;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang‑Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang‑Undang Nomor 12 Tahun 1992
tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG USAHA BUDIDAYA TANAMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Usaha Budidaya Tanaman adalah
serangkaian kegiatan pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam nabati
melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya
menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik.
2. Penanaman Modal adalah segala bentuk
kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam
modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
3. Penanam Modal Asing adalah perorangan
warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang akan
melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
4. Pelaku Usaha Budidaya Tanaman yang
selanjutnya disebut pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia yang mengelola usaha budidaya tanaman.
5. Petani Kecil Berlahan Sempit adalah
petani yang mengusahakan budidaya tanaman dan penghasilannya hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari‑hari.
6. Izin Usaha Budidaya Tanaman adalah izin
tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang kepada pelaku usaha
budidaya tanaman.
7. Perluasan Usaha Budidaya Tanaman adalah
penambahan luas lahan dan/atau penambahan kapasitas produksi dalam usaha
budidaya tanaman.
8. Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang budidaya tanaman.
Pasal 2
Usaha budidaya tanaman diselenggarakan untuk:
a. mewujudkan kedaulatan dan ketahanan
pangan;
b. menyediakan kebutuhan bahan baku
industri;
c. meningkatkan pemberdayaan, pendapatan,
dan kesejahteraan petani;
d. mendorong perluasan dan pemerataan
kesempatan berusaha dan kesempatan kerja;
e. meningkatkan perlindungan budidaya
tanaman secara konsisten dan konsekuen dengan memperhatikan aspek pelestarian
sumber daya alam dan/atau fungsi lingkungan hidup;
f. memberikan kepastian usaha bagi pelaku
usaha budidaya tanaman.
Pasal 3
(1) Usaha budidaya tanaman dapat dilakukan di
wilayah pengembangan budidaya tanaman di seluruh wilayah Indonesia.
(2) Selain di wilayah pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) usaha budidaya tanaman dapat dilakukan di
tempat lain yang merupakan cadangan lahan untuk budidaya tanaman sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang‑undangan di bidang penataan ruang.
(3) Ketentuan mengenai wilayah pengembangan
budidaya tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimasukkan di dalam rencana
detail tata ruang.
Pasal 4
Ruang lingkup peraturan pemerintah ini meliputi:
a. budidaya
tanaman;
b. perizinan
usaha budidaya tanaman; dan
c. pembinaan
dan peran masyarakat.
BAB II
BUDIDAYA TANAMAN
Pasal 5
(1) Budidaya tanaman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf a dapat dilakukan oleh:
a. perorangan;
dan
b. badan
usaha yang berbentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang
meliputi:
1. badan usaha milik negara;
2. badan usaha milik daerah;
3. badan usaha swasta; atau
4. koperasi.
(2) Usaha budidaya tanaman diutamakan untuk
pelaku usaha yang mayoritas modalnya bersumber dari dalam negeri.
Pasal 6
Budidaya tanaman meliputi:
a. jenis
dan skala usaha;
b. luas maksimum lahan usaha dan perubahan
jenis tanaman;
c. pola
usaha; dan
d. pemanfaatan
jasa dan sarana milik negara.
Pasal 7
(1) Jenis usaha budidaya tanaman terdiri
atas:
a. usaha dalam proses produksi;
b. usaha dalam penanganan pasca panen; dan
c. usaha keterpaduan butir a dan butir b.
(2) Skala usaha budidaya tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada luas lahan dan/atau tenaga kerja.
(3) Lahan budidaya tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan luas 25 Ha (dua puluh lima hektar) atau lebih,
wajib mendapat izin.
(4) Penggunaan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah 10 (sepuluh) orang atau lebih wajib
mendapat izin.
Pasal 8
(1) Penetapan luas maksimum lahan untuk
setiap jenis usaha budidaya tanaman didasarkan pada ketersediaan, kesesuaian
dan kemampuan lahan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup khususnya
konservasi tanah.
(2) Luas maksimum lahan untuk pengusahaan
budidaya tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu 10.000 Ha (sepuluh
ribu hektar).
(3) Untuk wilayah Papua, luas maksimum lahan
dapat diberikan dua kali luas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penguasaan lahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan.
(5) Ketentuan luas maksimum lahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku untuk badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah.
Pasal 9
(1) Pemerintah mengarahkan pelaku usaha untuk
bekerjasama secara terpadu dalam melakukan usaha budidaya tanaman.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan prinsip berkedudukan yang sama, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan yang dibuat dalam bentuk perjanjian secara tertulis dan diketahui
oleh bupati/walikota dan gubernur.
(3) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling sedikit memuat mengenai hak dan kewajiban, pembinaan dan
pengembangan usaha, pendanaan, alih teknologi, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan.
(4) Kerja sama usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan untuk peningkatan nilai tambah bagi pelaku usaha,
karyawan, dan masyarakat.
(5) Kerja sama usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan pada usaha proses produksi dan/atau pasca panen.
(6) Kerja sama usaha pada proses produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa penyediaan sarana produksi.
(7) Kerja sama usaha pada pasca panen
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa pengolahan, pemasaran,
transportasi, dan kerja sama operasional lainnya.
Pasal 10
(1) Pelaku usaha yang dalam melakukan usaha
budidaya tanaman memanfaatkan jasa dan/atau sarana yang disediakan oleh
pemerintah, dikenakan kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Jenis dan tarif atas pemanfaatan jasa dan
sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang‑undangan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
BAB III
PERIZINAN USAHA
Pasal 11
(1) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, pemohon harus memenuhi persyaratan:
a. akte
pendirian perusahaan dan perubahannya yang terakhir;
b. nomor
pokok wajib pajak;
c. surat
keterangan domisili;
d. rekomendasi
kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dari
bupati/walikota untuk izin usaha tanaman yang diterbitkan oleh gubernur;
e. rekomendasi
kesesuaian dengan rencana makro pembangunan tanaman provinsi dari gubernur
untuk izin usaha tanaman yang diterbitkan oleh bupati/walikota;
f. Izin
lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta calon lokasi dengan
skala 1:100.000 atau 1:50.000;
g. rekomendasi
lokasi dari pemerintah daerah lokasi unit pengolahan;
h. jaminan
pasokan bahan baku yang diketahui oleh bupati/walikota;
i. rencana
kerja pembangunan unit usaha budidaya tanaman;
j. hasil
analisis mengenai dampak lingkungan atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan
upaya pemantauan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan
di bidang lingkungan hidup; dan
k. pernyataan
kesediaan untuk melakukan kemitraan.
(2) Izin usaha diberikan oleh:
a. gubernur,
untuk lokasi lahan usaha budidaya tanaman yang berada pada lintas wilayah
kabupaten dan/atau kota dalam provinsi yang bersangkutan;
b. bupati
/walikota, untuk lokasi lahan usaha budidaya tanaman yang berada dalam 1 (satu)
wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pasal 12
Pemberian izin usaha budidaya tanaman dalam rangka
pelaksanaan penanaman modal dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang‑undangan di bidang penanaman modal.
Pasal 13
Perubahan jenis tanaman, perluasan lahan, dan/atau
penambahan kapasitas produksi pada usaha dalam proses produksi budidaya tanaman
dapat dilakukan oleh pelaku usaha setelah mendapat persetujuan dari pemberi
izin usaha.
Pasal 14
(1) Izin usaha budidaya tanaman berlaku
selama perusahaan masih operasional.
(2) Izin usaha budidaya tanaman dilarang
untuk dipindah tangankan.
Pasal 15
(1) Penanam modal asing yang akan melakukan
usaha budidaya tanaman wajib bekerja sama dengan pelaku usaha budidaya tanaman
dalam negeri dengan membentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
(2) Batas penanaman modal asing untuk usaha
budidaya tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maksimum 49% (empat puluh
sembilan persen).
Pasal 16
Usaha budidaya tanaman yang menggunakan produk hasil
rekayasa genetik dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan
di bidang keamanan hayati.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha budidaya tanaman wajib:
a. melaksanakan
usahanya sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin dan prinsip usaha
yang sehat;
b. melaksanakan
upaya pelestarian sumber daya alam dan/atau fungsi lingkungan hidup sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan; dan
c. menyampaikan
laporan pelaksanaan kegiatan teknis usaha kepada pemberi izin usaha.
(2) Pelaporan dilakukan secara berkala sesuai
dengan siklus pertanaman atau paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan usaha budidaya
tanaman dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 17 diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 19
(1) Bupati/walikota dan gubernur wajib
melakukan pembinaan dan memberikan pelayanan dalam pelaksanaan usaha budidaya
tanaman.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pengaturan, pelayanan, pemberian izin, bimbingan, dan pengawasan
terhadap proses kegiatan produksi dan penanganan pasca panen.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diarahkan untuk meningkatkan produksi, mutu, dan nilai tambah hasil
budidaya tanaman, serta efisiensi penggunaan lahan dan sarana produksi.
(4) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi penciptaan iklim usaha yang sehat, penyuluhan, pendampingan,
mempermudah, dan memperlancar pemberian izin usaha budidaya tanaman.
Pasal 20
Masyarakat dan/atau asosiasi terkait diberi kesempatan
berperan dalam melaksanakan pengawasan, menyampaikan pemikiran, dan saran dalam
pengembangan usaha budidaya tanaman.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pelayanan,
dan pedoman peran masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 22
(1) Apabila bupati/walikota atau gubernur
dalam melakukan pengawasan menemukan penyimpangan, kepada pelaku usaha dapat
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan
usaha, atau pencabutan izin usaha.
(3) Sanksi administratif berupa penghentian
sementara kegiatan apabila pelaku usaha tidak melaksanakan rencana usaha yang
telah diusulkan.
(4) Izin usaha budidaya tanaman dicabut,
apabila pelaku usaha budidaya tanaman:
a. tidak
melaksanakan kegiatan usaha selama 6 (enam) bulan berturut‑turut sejak
pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
b. melakukan
pemindahtanganan izin, perubahan jenis tanaman, lokasi, dan/atau perluasan
usaha sebelum memperoleh persetujuan pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14;
c. tidak
menyampaikan laporan kegiatan teknis usaha secara benar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17;
d. tidak
memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18; atau
e. hak
guna usaha atau hak atas tanah lain yang digunakan usaha budidaya tanaman
dibatalkan atau dicabut atau tidak diperpanjang masa berlakunya.
(5) Pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh pemberi izin setelah diberikan peringatan
tertulis 2 (dua) kali dengan selang waktu 3 (tiga) bulan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Ketentuan usaha budidaya tanaman yang telah ada, sebelum
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
(1) Apabila di dalam negeri terjadi bencana
alam atau ledakan serangan organisme pengganggu tumbuhan sehingga produksi
usaha budidaya tanaman tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri, produk yang
dihasilkan dari usaha budidaya tanaman wajib diprioritaskan untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
(2) Ketentuan mengenai kejadian bencana alam
dan ledakan serangan organisme pengganggu tumbuhan ditetapkan oleh Presiden.
Pasal 25
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku
untuk usaha budidaya tanaman perkebunan.
Pasal 26
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta
pada
tanggal 28 Januari 2010
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR.
H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal 28
Januari 2010
MENTERI HUKUM
DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2010 NOMOR 24
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2010
TENTANG
USAHA BUDIDAYA TANAMAN
I. UMUM
Usaha budidaya tanaman merupakan
bagian integral dari pembangunan pertanian yang diarahkan untuk mencapai usaha
pertanian yang bernilai tambah, berdaya saing, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia dan
amanah dari Tuhan Yang Esa kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
pemanfaatannya harus ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat.
Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut, upaya pembangunan pertanian dilakukan dengan memanfaatkan lahan dan
pemilihan jenis tanaman yang tepat, menerapkan teknologi proses serta alat dan
mesin pertanian yang modern, menggunakan tenaga kerja yang terampil,
menggunakan modal yang efisien, dan menerapkan manajemen yang profesional.
Pembangunan pertanian tersebut harus dapat memberikan manfaat sosial, ekonomi,
dan budaya serta berdampak pada kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan negara
Indonesia.
Peraturan Pemerintah tentang Usaha
Budidaya Tanaman didasarkan pada semangat untuk menciptakan kepastian berusaha
di bidang budidaya tanaman sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif bagi
para pelaku usaha.
Peraturan Pemerintah ini mengatur
budidaya tanaman, perizinan usaha budidaya tanaman, dan pembinaan serta peran
masyarakat. Usaha budidaya tanaman terdiri atas proses produksi yang meliputi
pembukaan lahan sampai dengan pemanenan, sedangkan pasca panen meliputi
pembersihan sampai dengan siap untuk dipasarkan termasuk di dalamnya pengolahan, yang pelaksanaannya diarahkan
melalui kerja sama usaha sehingga akan tercipta hubungan yang harmonis dan
saling menguntungkan antara pelaku usaha budidaya tanaman dengan masyarakat
sekitar dan pemangku kepentingan lainnya.
Pemerintah daerah diberi kewenangan
dalam pemberian izin dengan tetap memperhatikan norma, standar, pedoman, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Menteri. Untuk memberikan keadilan dan pemerataan
usaha di bidang budidaya tanaman, Menteri diberi kewenangan untuk menetapkan
luas maksimum lahan usaha. Pelaku usaha budidaya tanaman diberi keleluasaan
untuk mengubah tanaman setelah mendapat persetujuan dari pemberi izin.
Selain itu, pelaku usaha diberi
kesempatan untuk memanfaatkan jasa dan/atau sarana milik negara dengan
dikenakan pungutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Atas pelaksanaan
ketentuan‑ketentuan di atas, Pemerintah, gubernur, dan bupati/walikota
menyediakan pelayanan berupa pembinaan dan pengawasan kepada pelaku usaha.
Atas dasar pemikiran di atas,
disusunlah Peraturan Pemerintah tentang Usaha Budidaya Tanaman untuk dijadikan
sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan pelayanan pemberian izin usaha
budidaya tanaman.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas.
Pasal 2
Agar
tujuan usaha budidaya tanaman dapat tercapai, maka dalam melakukannya harus
selalu memperhatikan dan berorientasi pasar sehingga tidak mengalami kesulitan
dalam memasarkan hasil.
Pasal 3
Cukup
jelas.
Pasal 4
Cukup
jelas.
Pasal 5
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Ketentuan mengutamakan mayoritas modal dalam negeri
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Warga Negara Indonesia melakukan
kegiatan usaha budidaya tanaman.
Pasal 6
Cukup
jelas.
Pasal 7
Ayat
(1)
Huruf
a
Yang dimaksud dengan proses kegiatan
produksi meliputi penyiapan lahan dan media tumbuh tanaman, pembenihan tanaman,
penanaman, pemeliharaan/perlindungan tanaman, dan/atau pemanenan.
Huruf
b
Yang dimaksud dengan pasca panen
yaitu tahapan kegiatan yang dimulai sesudah panen sampai dengan hasilnya siap
dipasarkan meliputi pembersihan, pengupasan/perontokan, pengeringan, sortasi,
grading, pengolahan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standarisasi mutu,
distribusi, dan/atau pemasaran hasil produksi budidaya tanaman.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Luas lahan maksimum untuk usaha budidaya tanaman di
wilayah Papua mengikuti ketentuan pelaksanaan otonomi daerah.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal 9
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Termasuk penyediaan sarana produksi, antara lain, benih,
pupuk, alat pertanian, dan mesin pertanian.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Pasal
10
Ayat
(1)
Jasa dalam ketentuan ini antara lain, sertifikasi mutu,
pendaftaran produk, nomor pendaftaran, uji mutu produk, sertifikasi produk, uji
penelitian, dan sertifikasi good agriculture practice.
Sarana dalam ketentuan ini, antara lain, pemanfaatan
laboratorium uji, alat mesin pertanian, pergudangan, lahan, dan bangunan.
Ayat
(2)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang‑undangan yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2002 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 2004.
Pasal
11
Cukup
jelas.
Pasal
12
Yang
dimaksud dengan peraturan perundang‑undangan yaitu Undang‑Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal.
Pasal
13
Ketentuan
persetujuan diperlukan untuk pelaksanaan monitoring perkembangan kegiatan usaha
budidaya tanaman pada suatu wilayah.
Pasal
14
Cukup
jelas.
Pasal
15
Cukup
jelas.
Pasal
16
Yang
dimaksud dengan peraturan perundang‑undangan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik.
Pasal
17
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Laporan dimaksudkan untuk memantau tingkat kemajuan
kegiatan yang dicapai oleh pemegang izin dalam mengelola usaha.
Laporan kegiatan teknis meliputi realisasi luas lahan
budidaya yang ditanam, keadaan/serangan organisme pengganggu tumbuhan,
perkembangan produksi, dan pengolahan atau pemasaran hasil.
Pasal
18
Cukup
jelas.
Pasal
19
Ayat
(1)
Pembinaan dilakukan dengan tujuan agar usaha budidaya
tanaman dapat berkembang lebih baik dan lebih sehat.
Pelayanan dilakukan untuk memberikan kelancaran dalam
pengembangan usaha budidaya tanaman.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
20
Yang
dimaksud dengan ôasosiasi terkaitö yaitu semua bentuk perhimpunan profesional,
keilmuan, pengusahaan, atau perdagangan di bidang usaha budidaya tanaman.
Pasal
21
Cukup
jelas.
Pasal
22
Cukup
jelas.
Pasal
23
Cukup
jelas.
Pasal
24
Cukup
jelas.
Pasal
25
Cukup
jelas.
Pasal
26
Cukup
jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 5106