-->

Ads

Bank Jatim adalah

Bank Jatim adalah

Bank Jatim tercatat sebagai salah satu aset pemerintah daerah yang profitable serta mempunyai prestasi terbaik di antara Badan Usaha Milik Daerah di lingkungan Pemprov Jawa Timur. Tahun 2009 lalu, bank plat merah itu menghasilkan laba bersih cukup signifikan dan memberi kontribsusi sekitar Rp 300 miliar ke kas daerah. Pepatah mengatakan, tidak ada gading yang tak retak dan kali ini reputasi yang telah dicapai itu tercoreng. Seperti ramai diberitakan di media, bank dengan slogan ‘Banknya rakyat Jawa Timur’ itu diduga tersandung masalah komisi atau fee yang diberikan kepada pejabat di Jawa Timur. Uang sebesar Rp 71,5 miliar yang sedang dipermasalahkan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dan DPRD Jatim (Komisi C) itu, lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk modal sektor riil dan usaha menengah (UMKM). Dengan asumsi masing-masing unit usaha mendapat pinjaman modal bergulir Rp 10 juta, dana stimulan itu bisa memperlancar usaha sekitar 7 ribu UMKM sektor kelautan dan perikanan yang mayoritas kondisinya kembang kempis. Tentunya dengan harapan usaha rakyat kecil tersebut bergairah kembali, mampu bangkit dan mandiri. Sejauh ini keterlibatan Bank Jatim masih belum maksimal mendorong usaha masyarakat pesisir. Jika pun ada, perannya sebatas bank pelaksana, tidak murni menyalurkan dananya sendiri. Sebagai referensi tahun 2009 lalu Bank Jatim mendapat titipan dana sebesar Rp 2,1 miliar dari Pemprov Jatim untuk disalurkan pada 21 orang atau kelompok masyarakat pesisir melalui Anti Proverty Program (APP). Pemerintah sebetulnya telah mengalokasikan dana cukup besar melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) untuk masyarakat pesisir yang disalurkan melalui sejumlah lembaga keuangan, Bank Jatim adalah salah satu di antaranya. Ada tiga skim diluncurkan untuk membantu usaha petani tambak dan nelayan dengan bunga murah 6 persen per tahun, yaitu Dana Penguatan Modal (DPM) diperuntukkan sektor  budidaya, Anti Proverty Program (APP) untuk kemiskinan dan Dana Penguatan Permodalan Kredit Usaha (DPPKUPK) untuk pengolahan dan pemasaran. Ironisnya implementasi ketiga skim tersebut sulit diakses dan dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir. Artinya, pihak bank cenderung pasif menjual dan memasarkan produknya.  Masyarakat seolah dibatasi untuk mengakses informasi program tersebut. Boleh dikata, program pemberdayaan masyarakat untuk sektor permodalan, keberadaannya bagi masyrakat pesisir sama dengan tiada.  Disamping itu harus disadari pula UMKM perikanan umumnya hanya menginginkan bantuan atau hibah. Mereka  tidak biasa dengan prosedur yang panjang disamping tidak mempunyai agunan. Wilayah pesisir sejatinya mempunyai potensi ekonomi cukup menjanjikan jika intensif dikembangkan untuk usaha budidaya laut dan payau. Komoditas budidaya laut yang prospek dikembangkan di Jawa Timur adalah rumput laut, ikan kerapu, kepiting bakau, abalone atau ikan kakap. Luas perairan potensial mencapai 477.923 hektar, lokasinya berada hingga 4 mil dari garis pantai sepanjang 1.600 kilometer. Akan tetapi pemanfaatannya baru 10.600 hektar dengan produksi per tahun. 8,8 ribu ton. Pengembangan usaha budidaya laut difokuskan di wilayah Sumenep dan kepulauan, Trenggalek, Tulungagung, Pacitan, Lumajang, Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo dan Gresik.
Masih di ranah pesisir, budidaya udang secara intensif (vaname) maupun tradisional (windu) masih cukup menjanjikan dengan catatan perlu dilakukan revitalisasi. Potensinya mencapai 1,5 - 2 ton per hektar per musim tanam. Komoditas lainnya yang dapat dikembangkan adalah  bandeng dan ikan kerapu lumpur. Selama ini komoditas udang Jawa Timur menjadi andalan ekspor nasional ke negara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Peluang usaha lainnya yang memerlukan support perbankan adalah pengolahan ikan paska tangkap seperti pemindangan, abon ikan, terasi, petis atau kerupuk ikan. Hanya saja sangat disayangkan bank selama ini selalu berdalih klasik jika berhadapan dengan nelayan dan petani tambak, dengan berdalil pemberian kredit bagi masyarakat pesisir berisiko tinggi. Dengan kata lain bank pada umumnya tidak bersedia mengucurkan kredit untuk UMKM sektor kelautan dan perikanan. Jika dicermati lebih jauh lembaga perbankan belum mempunyai tenaga ahli yang menguasai usaha kelautan dan perikanan sehingga dalil itu sebetulnya lebih didasarkan pada asumsi bukan fakta.
Bukan hanya di Jawa Timur saja, secara nasional alokasi kredit tahun 2009 untuk nelayan pun sangat rendah,  hanya Rp 2,08 triliun atau 0,002 persen dari total alokasi kredit UMKM sebanyak Rp 700,8 triliun. Terkait pendanaan, dari total dana kredit usaha rakyat (KUR) tahun 2009, daya serap nelayan dan pembudidaya ikan di bawah 5 persen. Hal ini antara lain, disebabkan prosedur pengajuan kredit rumit dan terbentur jaminan (agunan). Di Jawa Timur terdapat 8 ribu UMKM yang bergerak di sektor usaha perikanan. Jumlah Koperasi Mina tercatat 83 koperasi, 53 diantaranya berjuang sekedar bertahan hidup. Sementara Pusat Koperasi Perikanan (Puskud) Mina Jatim sudah lebih dahulu terpuruk kondisinya memprihatinkan.  Kantornya di bilangan Ahmad Yani konon terpaksa dijual untuk menutupi defisit biaya operasional.
Harus diakui pembangunan sektor perikanan lebih mengarah pada pengembangan industri tanpa mendorong penguatan dan kemandirian nelayan dan pembudidaya tambak. Akibatnya, kehidupan nelayan sulit lepas dari jerat kemiskinan.
Nelayan dan masyarakat pesisir seharusnya diberdayakan dan dijadikan pilar bangsa bahari, bukan selalu dijadikan tumbal kebijakan dan dimanfaatkan sebagai obyek mobilisasi politik. Pemerintah belum melakukan langkah optimal untuk memberdayakan nelayan. Ini terutama dalam kegiatan paska tangkap, seperti pengolahan produk, dan memberikan nilai tambah bagi hasil tangkapan. Program kredit usaha rakyat (KUR) yang digulirkan hingga kini belum menyentuh nelayan kecil yang mayoritas tradisional. Pemerintah dan perbankan seharusnya menyadari kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi karena kurang mendapat kesempatan berusaha, minim akses informasi, teknologi dan permodalan. Hal ini menyebabkan posisi tawar mereka semakin lemah. Sesuai dengan motonya, banknya rakyat Jawa Timur, sudah sepantasnya Bank Jatim lebih memperhatikan kelangsungan usaha masyarakat kecil. Pejabat provinsi, bupati dan walikota hidupnya sudah berkecukupan dan tidak layak mendapat santunan apapun istilahnya.

Kinerja Bank Jatim sebagai salah satu perusahaan plat merah milik Pemprov Jawa Timur kembali menuai kritikan keras dari dewan. Kali ini berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPRD Jawa Timuryang menuding  kinerja BUMD terbesar di Jatim ini mulai menurun kinerjanya.
Ketua Fraksi PKS DPRD Jatim, Yusuf  Rohana menegaskan, ada dua catatan terkait penggelolaan Bank Jatim sebagai BUMD yang saat ini, masih dianggap paling produktif dibanding 11 BUMD lainnya di Jawa Timur. Pertama, Bank Jatim dinilai melakukan penghianatan terhadap komitmen pembagian laba, seperti kesepatan dalam pembahasan PAPBD tahun 2010.
“Saya melihat disini sudah ada ‘penghianatan’  terhadap komitmen laba antara 60 % : 40 % untuk deviden dan cadangan sebagaimana pembahasan pada 2010. Ternyata secara sepihak Bank Jatim merubah setoran PAD menjadi 55 %. Ini jelas bentuk ‘penghinatan’,” terang Yusuf Rohana dengan nada keras seusai melakukan hearing dengan Bank Jatim di ruang Komisi C DPRD Jatim, Senin (12/9) siang.
Kedua ‘penghianatan’ Bank Jatim, lanjut Yusuf yang juga dilakukan setelah bank dengan modal dana APBD rakyat Jawa Timur ini, kinerjanya semakin menurun. Padahal, kucuran dana APBD yang diberikan Bank Jatim cukup besar mencapai Rp 400 miliar, seharusnya mampu dikelola dengan benar, sehingga tidak merugikan kepentingan rakyat.
“Disini saya melihat ada penurunan kinerja di Bank Jatim. Yang tidak habis pikir, ternyata perubahan kebijakan Bank Indonesia (BI)terkait penurunan suku bunga dijadikan alasan pembenar kinerja mereka menurun. Seharusnya hal ini tidak boleh terjadi. Ingat dana yang dikelola Bank jatim merupakan anggaran APBD yang sama artinya itu uang rakyat Jawa Timur,” tandasnya lebih serius.
Yang disesalkan Yusuf, menurunya suku bunga setelah adanya perubahan kebijakan BI, ternyata tidak diantisipasi oleh penggeloa Bank Jatim. “Sebagai bank profesional harusnya Bank Jatim mampu mengantisipasi bentuk perubahan. Selama ini, Bank Jatim masih menggunakan kultur birokrasi, maka profesionalisme tidak akan terwujud,” tegasnya kembali.
Terpisah, Wakil Ketua Komisi C DPRD Jatim, Haryono Abdul Bari menilai penurunan kinerja di Bank Jatim tak lepas adanya perubahan pada pucuk direksi, serta adanya penyempurnaan struktur diseluruh cabang Bank Jatim yang masih terus dilakukan. Selain itu,  munculnya beberapa aturan dari perbankan dan Permenkeu (peraturan menteri keuangan) yang wajib ditaati Bank Jatim.
“Dimana Bank Jatim tidak bisa melakukan menentukan suku bunganya sendiri. Apalagi Pak Hadi (Dirut bank jatim.red) berasal dari direksi kepatuhan Bank Jatim, ini membuat kepemimpinan Bank jatim terlalu hati-hati. Kedepan Bank Jatim seharusnya semakin memperkuat pengembangan dengan pihak ke tiga. Asal melakukan kontrol evaluasi, tidak ada terlambat untuk meningkatkan kinerja bank jatim,” terang politisi asal Partai Demokrat.
Menanggapi kritikan tajam dari kalangan DPRD Jatim, Direktur Utama Bank Jatim, Hadi Sukrianto menolak jika kinerja Bank Jatim menurun. Saat ini, bukan hanya bank Jatim yang menurun kinerjanya, tetapi juga pada BPD lainnya.
“Ini disebabkan, masalah indominasi PAK antara 50 % sampai  55 % dan penurunan suku bunga. Ini nanti akan kita jelaskan ke gubernur maupun dewan,” terang Hadi.
Seperti diketahui, saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur melakukan evaluasi ketat terhadap kinerja sejumlah BUMD yang dimilikinya guna membuat kebijakan strategis agar keberadaannya lebih maksimal dalam memberikan kontribusi bagi pendapatan asli daerah.  Termasuk Bank Jatim, yang menurut Pakde Karwo-panggilan akrab Soekarwo belakangan ini kinerjanya semakin menurun, dan pihaknya berjanji akan memanggil jajaran direksi Bank Jatim untuk klarifikasi.
Kalangan DPRD Jawa Timur mendorong pemerintah provinsi setempat melakukan evaluasi terhadap kinerja Bank Jatim.

"Kami mendorong pemprov terus mengevaluasi kinerja Bank Jatim," kata anggota Komisi C DPRD Jatim Sugiri Sancoko dalam rapat dengar pendapat dengan jajaran direksi Bank Jatim di Surabaya, Senin.

Dalam rapat dengar pendapat tersebut, direksi Bank Jatim melaporkan terjadinya penurunan kinerja, yakni menurunnya keuntungan pada semester I/2011 sebesar 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Dia menambahkan, proses evaluasi itu diharapkan dapat dijadikan landasan untuk mencarikan solusi bagi BUMD yang laporan kinerjanya tidak baik.

"Bila memang tidak prospektif, maka kami usul BUMD dimerger atau dilikuidasi saja. Hasil evaluasi tersebut seyogyanya bisa juga disampaikan kepada kami untuk acuan penambahan modal kerja," katanya.

Anggota Fraksi Partai Demokrat itu juga berharap Bank Jatim dapat meningkatkan kinerjanya pada masa-masa mendatang.

"Kinerja Bank Jatim mesti ditingkatkan agar target pendapatan dan keuntungan yang mesti diperoleh 2011 sesuai dengan target," kata Sugiri.

Sementara itu, anggota Komisi A DPRD Jatim, Nizar Zahro, mengaku terkejut dengan penurunan kinerja Bank Jatim.

"Kondisi Bank Jatim mesti diperbaiki. Jangan sampai berdampak pada persiapan proses 'go public' yang telah digagas dan akan direalisasikan tahun depan," katanya.

Direktur Utama Bank Jatim Hadi Sukriyanto mengakui bila ada penurunan dalam meraih keuntungan dibandingkan tahun lalu.

"Namun kondisi seperti itu juga dialami BPD (bank pembangunan daerah) lainnya secara nasional, akibat adanya perubahan kebijakan terkait pelaporan dan pengakuan pendapatan," katanya.

Penurunan itu juga dipicu oleh perubahan sistem suku bunga dari suku bunga tetap (flat) menjadi suku bunga efektif.

"Meskipun ada penurunan, kami yakin secara umum target pendapatan pada 2011 akan bisa diraih," katanya

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel